Mengulik Peluang Investasi Lestari melalui Inovasi Berbasis Alam

By Yussy Maulia, Minggu, 25 Juni 2023 | 15:36 WIB
Forum Investasi dan Bisnis Berbasis Alam berlangsung di Bukit Indah Doda, Desa Doda, Kecamatan Marawola Barat, Jumat (23/6/2023). (Dok. Joshua Marunduh)

NationalGeographic.co.id - Forum Investasi dan Bisnis Berbasis Alam yang berlangsung di Bukit Indah Doda, Desa Doda, Kecamatan Marawola Barat, Jumat (23/6/2023) berlangsung sukses.

Sebagai informasi, forum investasi bisnis berbasis alam pertama di Indonesia tersebut merupakan acara utama dari Festival Lestari 5 yang tahun ini diselenggarakan di Kabupaten Sigi.

Forum tersebut menunjukan betapa kuatnya komitmen banyak pihak untuk mendorong konsep pembangunan berbasis alam agar langkah nyata, bukan sekadar diskusi dan wacana, khususnya di ranah pemerintah.

Sejumlah pelusaha, unsur pemerintah, dan kalangan kelompok sipil masyarakat pun hadir berdiskusi. Semua sepakat bahwa kebutuhan untuk menerapkan pembangunan berbasis alam semakin mendesak dan tidak bisa ditunda.

Bupati Kabupaten Sigi Mohamad Irwan Lapata mengatakan, Kabupaten Sigi telah menunjukkan komitmen mengadopsi pola pembangunan hijau dan berbasis alam untuk menggerakkan roda pembangunan.

Menurut Irwan, perwujudan konsep pembangunan yang lestari membutuhkan komitmen, payung hukum, serta kebijakan dan dukungan berbagai pihak.

Baca Juga: Memuliakan Durian dan Kopi, Hasil Alam Lestari dari Kabupaten Sigi

“Oleh sebab itu, komitmen itu diwujudkan dengan membuat payung hukum kelestarian lingkungan dengan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Sigi Hijau pada Agustus 2019,” ujar Irwan.  

Sebagai informasi, Kabupaten Sigi merupakan wilayah yang kaya akan hasil tambang, seperti emas, bijih besi, dan nikel. Meski demikian, kata Irwan, Pemerintah Daerah (Pemda) tidak lantas merasa bebas mengekpsloitasi sumber daya alam itu.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi mendorong warganya untuk memanfaatkan komoditas yang tidak merusak lingkungan. Misalnya, dengan melakukan budidaya tanaman hortikultura, kopi, kakao, vanili, serta memaksimalkan potensi pariwisata berbasis alam yang saat ini sedang berjalan.

Tak hanya itu, Pemkab Sigi dan masyarakat setempat juga berterima kasih kepada Belanda yang memasukkan sebagian ebsar wilayah Kabupaten Sigi dalam kawasan Konservasi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).

''Coba jika (Kabupaten Sigi) tidak dimasukkan dalam kawasan konservasi, sekarang (sumber daya alamnya) sudah dieksploitasi,'' ucap Irwan.

Direktur KARSA Institute Saiful Taslim, yang juga hadir dalam forum, mengatakan bahwa praktik baik untuk model ekonomi berbasis jasa ekosistem sudah saatnya menjadi pilihan.

“Sebagai lembaga yang bergerak di sektor isu reformasi agraria, KARSA Institute sudah mengenal rekam jejak pemerintahan di Kabupaten Sigi dibawah kepemimpinan Lapata. Sigi adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah yang concern terhadap isu-isu agrarian,” kata Saiful.

Baca Juga: Festival Lestari 5, Momentum Kabupaten Sigi untuk Tumbuh Lebih Baik

Ia melanjutkan, Pemerintah Kabupaten Sigi bahkan bisa menjadi role model bagi pemerintah kabupaten lain di Sulawesi Tengah dalam hal menjaga ekosistem tetap lestari.

Menambahkan pernyataan Saiful, Arma Janti dari Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) menjelaskan bahwa sebagai institusi yang bertanggungjawab terhadap pengawasan kawasan konservasi, pihaknya telah memiliki langkah-langkah untuk mendorong ekonomi berbasis alam tersebut.

“BTNLL punya prinsip 3P+1, yakni perlindungan, pengawetan, pemanfaatan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan pola pendekatan ini, warga yang berbatasan dengan wilayah TNLL mampu menjaga dan mengambil manfaat di dalamnya tanpa merusak ekosistemnya,” kata Arma.

Saat ini, Arma menjelaskan, ada 72 desa yang berada di dalam atau berbatasan langsung dengan kawasan TNLL. Desa-desa itu melakukan perjanjian kerjasama (PKS) dengan BTNLL tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya di kawasan TNLL secara terukur dan bertanggungjawab.

Sementara itu, generasi muda yang diwakili oleh Komunitas Palu Kreatif Biondi, Sanda, mengaku bahwa anak muda mendukung penuh pembangunan berbasis kelestarian alam.

Ia mengatakan, generasi muda bahkan telah berkontribusi dalam membantu berjalannya ekonomi hijau. Salah satunya adalah melalui percepatan transformasi digital.

Menurut Sanda, transformasi digital dapat mempercepat akses informasi yang berkaitan dengan bisnis berbasis alam. Lalu, digitalisasi juga bisa memperluas market UMKM dan pada saat bersamaan bisa memperjelas branding usaha yang digeluti.

“Namun, dalam isu lokal maupun global, dua isu yang paling sering ditemukan dalam diskusi kaum muda adalah pembangunan berkelanjutan dan transformasi digital. Sayangnya, keduanya selalu dibahas terpisah,” katanya.

Baca Juga: Hutan Ranjuri nan Luhur: Penyerap Karbon dan Pelindung Masyarakat Sigi

Oleh sebab itu, Sanda meminta, kaum muda sebagai digital native harus diberi peran untuk mengimplementasikan transformasi tersebut.

''Dan ini membutuhkan kolaborasi dengan ekosistem lainnya. Sekali lagi, kaum muda tidak boleh ditinggalkan dalam isu pembangunan berkelanjutan. Generasi muda tidak boleh juga diwariskan dengan lingkungan yang rusak. Kami berhak menikmati lingkungan sehat dan nyaman," kata Sanda.

Komitmen dari pelaku usaha

Komitmen dan dukungan terhadap ekonomi hijau juga datang dari kalangan pelaku usaha. Head of Business Development Teratai Fajar Anugerah mengungkapkan, setidaknya hingga 2026 pihaknya akan membantu enam perusahaan yang memiliki produk nature base di sektor pangan.

Nilai komitmen pembiyaannya sekitar 4 juta dollar AS. Pembiayaan itu menargetkan perusahaan kecil, sedang berkembang, dan berada di luar Pulau Jawa.

Kelompok usaha juga harus berkaitan dengan food system atau rantai pasok makanan, baik di sektor produksi, pemrosesan, atau di hilir.

"Tapi perusahaan harus punya dampak sistemik. Misalnya, kegiatannya di Sigi, tetapi hasilnya dapat dirasakan hingga melampaui daerah Sigi,'' jelasnya.

Adapun, plafon pembiayaan yang ditawarkan bervariasi mulai dari 100.000 dollar AS hingga 1 juta dollar AS.     

Forum ini juga menawarkan model bisnis di Sulawesi Tengah, yakni carbon trading. Carbon trading atau perdagangan karbon merupakan perdagangan antar negara yang dirancang untuk mengurangi emisi karbon dioksida.

Baca Juga: Festival Lestari 5, Langkah Menguatkan Perda Sigi Hijau

Carbon trading juga dikenal dengan sebutan carbon emissions trading atau perdagangan emisi karbon. Kegiatan ini menyumbang sebagian besar perdagangan emisi di dunia.

Direktur PT Rimba Makmur Utama (RMU) Rezal Kusumaatmadja mengulik panjang lebar usaha bisnis yang digelutinya itu. RMU yang dirintis pada 2008 sendiri adalah perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak di sektor carbon trading.

“Sebagai bisnis baru, RMU masih terus memperkenalkan diri ke publik. Namun, masa depan bisnis ini mempunyai prospek yang baik. Mengingat narasi global saat setelah climate change adalah kembali ke nature basic,” kata Rezal.   

Kini, RMU masih terus mencoba melakukan konsolidasi pengetahuan mereka dengan memproduksi buku untuk disebarkan agar publik familiar dengan bisnis ini. Perusahaan itu diproyeksikan untuk menjaga hutan.

Karena itu, walau terbilang baru dan pernah mengalami masa paceklik, RMU berusaaha tetap eksis. Karena niat awalnya selain profit adalah untuk menjaga kehidupan. 

“Prospek bisnis ini sangat visible karena semua komponen modalnya sudah tersedia. Ada modal budaya, modal sosial, ada modal alam dan kebijakannya. Terakhir adalah uangnya. Indonesia belum punya aturan soal model bisnis ini,” kata Rezal.  

Baca Juga: Harum dan Gurihnya Bawang Garing Sigi, Komoditas Khas yang Belum Banyak Dikenal

Pentingnya menggodok regulasi

Meski punya prospek dan potensi yang besar, pemerintah Indonesia perlu menyusun dan membenahi regulasi lebih lanjut terkait carbon trading.

Hal ini diakui oleh Direktur Promosi Wilayah Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, dan Pasifik Kementerian Investasi/BKPM Saribua Siahaan yang ditemui sehari sebelum forum berlangsung.

Menurut Saribua, Indonesia belum masuk dalam lingkaran  bisnis perdagangan karbon karena aturannya masih harus digodok di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapennas).

Masih terkait pembangunan lestari, Leonard Theosabrata dari Smesco memberi dukungan penuh terhadap konsep pembangunan berbasis alam. Ia akan mempromosikan Cagar Biosfer Lore Lindu, mengingat ada hewan dan tumbuhan endemik yang harus dijaga sana.

Baca Juga: Solusi Limbah Tekstil: Pakaian Adat Kulawi Mataue dari Kulit Beringin

Ia juga berharap, Cagar Biosfer Lore Lindu dapat menumbuhkan komoditas yang bisa diolah menjadi berbagai produk, mulai dari bumbu rempah hingga kosmetik.

Leonard pun mengatakan, Smesco baru saja melakukan kerja sama dengan perusahaan farmasi untuk membuat pengolahan bahan-bahan alami.

''Ini yang kita inginkan. Tidak perlu diolah dengan teknologi canggih, asalkan memenuhi standar mutu dunia,'' jelasnya.

Mengakhiri diskusi itu, Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapata, memberi jaminan serta komitmen untuk mendukung setiap usaha lestrai yang berlangsung di Kabupaten Sigi.

“Daya dukung alam dengan tersedianya komoditas nonkayu yang banyak tersedia membuat bisnis berbasis alam terjmain keberlangsungannya di Sigi. Kemudian, dukungan lainnya adalah kebijakan yang ramah investasi terhadap pelaku usaha. Pembangunan lestari bahkan sudah tertuang dalam RPJMD Kabupaten Sigi,” katanya.

Dalam tataran aksi, menurut Irwan, Perda Sigi Hijau kemudian diterjemahkan dalam bentuk pemilahan wilayah komoditas. Misalnya, kawasan Kulawi Raya untuk perkebunan.

“Pemerintah memberikan 20.000 pohon durian musangking kepada warga di kawasan itu. Proyeksinya pada beberapa tahun kedepan Sigi menjadi pemasok utama kebutuhan buah tropis seperti durian, manggis bali, dan alpukat, ke Ibukota Nusantara,'' paparnya.

(Kontributor Foto: Joshua Marunduh/Teks: Yardin Hasan)