Pada awal abad ke-19, Jepang menghadapi kelaparan, bencana alam, dan wabah penyakit yang mengguncang perekonomian Jepang. Hal ini menempatkan banyak rakyat jelata ke dalam masa-masa sulit secara ekonomi.
Pada saat yang sama, para pedagang yang memiliki sejumlah besar kekayaan di Jepang dibenci oleh banyak kaum papa. Mereka menuduh para pedagang tersebut menimbun terlalu banyak kekayaan.
“Kebanyakan orang Jepang kuno percaya bahwa ada tatanan moral yang mendasari alam semesta dan pemerintah harus menyesuaikan diri dengan tatanan ini,” jelas Caleb.
Bila mereka tidak mengindahkan tatanan ini, Caleb menerangkan, maka bencana alam dan pergolakan sosial akan terjadi untuk menggulingkan pemerintah. “Alam semesta berusaha memperbaiki dirinya sendiri dengan menyingkirkan pemerintah yang tidak adil.”
Ketika gempa bumi Ansei Edo melanda pada tahun 1855, gempa tersebut tampaknya lebih berdampak pada daerah dataran rendah Edo daripada daerah dataran tinggi. Banyak daerah dataran rendah Edo yang dihuni oleh orang kaya dan pejabat pemerintah.
“Rakyat jelata Jepang akan menganggap hal ini sebagai tanda ketidaksenangan kosmik terhadap pemerintah Edo,” jelas Caleb.
Setelah gempa bumi, para seniman mulai membuat gambar Namazu yang menyebabkan gempa bumi. Tindakan Namazu digambarkan berpihak kepada orang-orang miskin yang telah dirugikan.