Mitologi Jepang: Namazu sang Penyebab Gempa dan Penolong Kaum Miskin

By Tri Wahyu Prasetyo, Kamis, 6 Juli 2023 | 07:00 WIB
Sebuah karya seni gempa bumi bermotif namazu atau ikan lele (oleh seniman yang tidak diketahui namanya), berjudul Shin Yoshiwara ōnamazu yurai atau (Public Domain/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Hampir setiap budaya memiliki penjelasan tradisional untuk menjelaskan kejadian alam. Seperti dalam budaya Jepang, gempa bumi telah dikaitkan dengan Namazu, ikan lele raksasa yang diyakini berasal dari bawah tanah.

Selain itu, ikan lele ini juga dikaitkan sebagai penegak ketidakadilan tatanan sosial yang disebabkan oleh tidak selarasnya pemerintah dengan prinsip moral yang mengatur semesta.

“Namazu menunjukkan kompleksitas pemahaman pra-ilmiah tentang gempa bumi, serta bagaimana kosmologi, politik, dan moralitas sering kali saling terkait dalam cara berpikir pra-modern,” tulis Caleb Strom, pada laman Ancient Origins.

Legenda Namazu

Namazu sebagian besar dikenal dari penggambaran artistik. Biasanya ia digambarkan dengan wujud ikan lele raksasa di lanskap Kekaisaran Jepang.

“Biasanya, ia juga digambarkan bersama dengan dewa-dewa Jepang yang secara tradisional dianggap bertanggung jawab untuk mencegahnya mendatangkan malapetaka pada penduduk dunia permukaan,” jelas Caleb.

Dalam legenda tradisional, yang tampaknya berkembang antara abad ke-15 dan ke-18, Namazu adalah ikan lele raksasa yang hidup jauh di bawah bumi.

Dewa utama Jepang yang bertanggung jawab untuk mengendalikan Namazu adalah dewa Kashima. Ia menahan Namazu dengan batu raksasa.

Dalam lukisan Namazu karya seniman yang tidak diketahui namanya ini, dewa Kashima mengendalikan Namazu dengan pedangnya. (Public Domain/Wikimedia Commons)

Hubungan antara Namazu dan Kashima ditunjukkan oleh setidaknya satu gulungan gambar dari tahun 1793, yang menunjukkan Namazu dalam sebuag arak-arakan. 

Mengenai asal-usul legendanya, Caleb menjelaskan, hubungan antara ikan lele dan gempa bumi di Jepang adalah perkembangan yang relatif baru.

“Bukti terawal bahwa ikan lele disalahkan sebagai penyebab gempa bumi hanya dapat ditelusuri beberapa ratus tahun yang lalu,” jelas Caleb. “Penampilan pertama yang menonjol tentang ikan lele dalam seni Jepang hanya dapat ditelusuri hingga sekitar abad ke-15.”

Sebelum lele, menurut Caleb, naga atau ular lebih umum dikaitkan dengan gempa bumi. Karena naga dikaitkan dengan air dalam tradisi Tiongkok dan Jepang, “tidaklah melompat terlalu jauh bahwa naga menyebabkan gempa bumi di kedalaman air berubah menjadi ikan lele menyebabkan gempa bumi dalam imajinasi populer Jepang pra-modern.”

Pada abad ke-19, tampaknya ikan lele raksasa telah menggantikan naga sebagai agen utama di balik gempa bumi di Kekaisaran Jepang.

Ada kemungkinan bahwa legenda Namazu juga muncul dari klaim para nelayan Jepang. Ikan lele dipercayai memiliki kemampuan untuk memprediksi gempa bumi.

Pada pertengahan abad ke-19, setelah gempa bumi Ansei Edo pada tahun 1855, seorang nelayan Jepang mengklaim bahwa ia melihat ikan lele bertingkah aneh tepat sebelum gempa bumi.

Cerita serupa juga muncul dari nelayan Jepang , ketika tsunami (ombak pasang) terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Gagasan bahwa ikan lele mampu meramal gempa menarik para peneliti Jepang untuk memeriksanya. Caleb menerangkan, pada tahun 1930-an, seorang ilmuwan Jepang mengklaim bahwa ia telah mengamati ikan lele meramalkan hingga 100 gempa bumi.

“Paling tidak, katanya, gempa bumi selalu terjadi dalam waktu 12 jam setelah ikan lele berenang dengan cara tertentu,” jelas Caleb.

Pulau-pulau di Jepang merupakan bagian dari sistem busur benua di mana lempeng Pasifik dan lempeng Filipina disubduksi di bawah lempeng Eurasia. Akibatnya, gempa bumi telah menjadi bagian dari perjalanan hidup manusia di kepulauan ini sejak dahulu kala.

Melihat hal tersebut, tidak mengherankan jika makhluk kosmik penyebab gempa bumi adalah tema umum dalam mitologi Jepang.

Sementara mitologi Jepang menyatakan bahwa ikan lele raksasa secara harfiah menyebabkan gempa bumi, para intelektual Jepang cenderung menganggap Namazu hanya sebagai metafora.

Namazu sebagai Penengah Keadilan Kosmik

Setelah pertengahan abad ke-19, Namazu juga menjadi semakin dikaitkan dengan komentar politik dan kritik terhadap pemerintah Jepang. Salah satu alasannya adalah akibat dari gempa bumi Ansei Edo tahun 1855.

Pada awal abad ke-19, Jepang menghadapi kelaparan, bencana alam, dan wabah penyakit yang mengguncang perekonomian Jepang. Hal ini menempatkan banyak rakyat jelata ke dalam masa-masa sulit secara ekonomi.

Pada saat yang sama, para pedagang yang memiliki sejumlah besar kekayaan di Jepang dibenci oleh banyak kaum papa. Mereka menuduh para pedagang tersebut menimbun terlalu banyak kekayaan. 

“Kebanyakan orang Jepang kuno percaya bahwa ada tatanan moral yang mendasari alam semesta dan pemerintah harus menyesuaikan diri dengan tatanan ini,” jelas Caleb. 

Bila mereka tidak mengindahkan tatanan ini, Caleb menerangkan, maka bencana alam dan pergolakan sosial akan terjadi untuk menggulingkan pemerintah. “Alam semesta berusaha memperbaiki dirinya sendiri dengan menyingkirkan pemerintah yang tidak adil.”

Ketika gempa bumi Ansei Edo melanda pada tahun 1855, gempa tersebut tampaknya lebih berdampak pada daerah dataran rendah Edo daripada daerah dataran tinggi. Banyak daerah dataran rendah Edo yang dihuni oleh orang kaya dan pejabat pemerintah.

“Rakyat jelata Jepang akan menganggap hal ini sebagai tanda ketidaksenangan kosmik terhadap pemerintah Edo,” jelas Caleb.

Setelah gempa bumi, para seniman mulai membuat gambar Namazu yang menyebabkan gempa bumi. Tindakan Namazu digambarkan berpihak kepada orang-orang miskin yang telah dirugikan.