Nationalgeographic.co.id—Dalam produksi pangan global saat ini, budi daya rumput laut tumbuh paling cepat dan diyakini dapat menjadi solusi untuk perubahan iklim. Namun penelitian baru ilmuwan menunjukkan bahwa budi daya rumput laut mungkin bukan solusi untuk perubahan iklim.
Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan di Nature Communications Earth & Environment belum lama ini. Jurnal tersebut diterbitkan dengan judul "Large global variations in the carbon dioxide removal potential of seaweed farming due to biophysical constraints" dan merupakan jurnal akses terbuka.
Penelitian baru tersebut menunjukkan bahwa kemampuan rumput laut untuk mengimbangi perubahan iklim sebagian besar tidak diketahui. Sementara, selain menjadi sumber pangan, pertanian rumput laut raksasa juga dapat menghasilkan berton-ton bahan bakar.
Untuk menenggelamkan hanya 1 gigaton emisi karbon per tahun, simulasi baru-baru ini menunjukkan bahwa budi daya rumput laut besar-besaran harus mencakup 1 juta kilometer persegi area laut yang paling produktif.
Demi perbandingan, sekitar 1,6 juta kilometer persegi tanah AS saat ini digunakan untuk budi daya rumput laut.
Menurut sebuah studi baru yang dipimpin oleh para peneliti di University of California, Irvine, untuk mencapai luasan budi daya rumput laut seluas itu, akan membutuhkan upaya pertanian pesisir saat ini untuk berkembang hingga 370 kali lipat.
Dan itu hanya akan membantu kita mencapai tujuan iklim internasional kita, yang mengandalkan antara 4 dan 13 gigaton penghilangan karbon dari atmosfer setiap tahun.
Dengan demikian, kita dapat membatasi pemanasan global di bawah 1,5 °C di atas tingkat pra-industri.
Selain itu, karena lahan rumput laut membengkak, hasil panen mereka mungkin berkurang.
Para peneliti memperkirakan bahwa bahkan jika budi daya rumput laut mengambil alih seperempat pantai dunia, mungkin penyerapan karbon yang dihasilkan dapat mencapai maksimal 3,5 gigaton per tahun.
Itu karena tidak semua garis pantai sama-sama produktif. Selain itu, budi daya rumput laut dengan kepadatan tinggi dan intensif di daerah yang dulunya subur dapat menghabiskan nitrat laut di sekitarnya.
Hal itu mungkin "menegangkan inventaris nutrisi laut di dekat permukaan dan mengganggu pompa karbon biologis alami," kata para peneliti.