Kama Sutra hingga Serat Centhini yang Sensual dalam Mitologi Hindu

By Galih Pranata, Selasa, 4 Juli 2023 | 09:30 WIB
Pahatan erotis Kama Sutra sebagai bagian dari mitologi Hindu di dinding Pagoda Hitam, Kuil Matahari di Konarak, provinsi Sistan dan Baluchestan, Iran. (Wikimedia Commons)

Lebih-lebih Kama Sutra dalam mitologi Hindu tak hanya berbicara tentang kenikmatan seksual, tapi menjadi panduan untuk kehidupan mewah, membahas pengaturan rumah, seni kehidupan, dan manajemen hubungan dengan pasangan.

Dari 7 buku Kama Sutra, hanya satu bab dari salah satu buku yang menjelaskan soal posisi hubungan bercinta. (Govardhan)

Artha dalam bahasa Sansekerta berarti "kekayaan" atau "Kemakmuran". Artha menggabungkan kekayaan, karier, aktivitas untuk mencari nafkah, keamanan finansial, dan kemakmuran ekonomi.

Penting untuk dicatat bahwa pengejaran keuntungan materi harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip Dharma karena jika berlebihan akan menyebabkan ekses yang tidak diinginkan dan merusak.

Kama dalam bahasa Sansekerta berarti "cinta", "keinginan", dan "kesenangan" dan kenikmatan estetika hidup dengan atau tanpa konotasi seksual.

Pengejaran Kama sebagai “cinta” tidak boleh melanggar prinsip Dharma (tanggung jawab moral) dan Artha (kemakmuran material).

Dalam mitologi Hindu, manusia harus mempraktikkan DharmaArtha, dan Kama pada waktu yang berbeda dalam hidup mereka dan sedemikian rupa sehingga mereka selaras dan tidak berbenturan sama sekali.

Seseorang harus memperoleh pembelajaran dan pendidikan tentang ketiga prinsip itu sejak usia dini—terutama Dharma. Di masa muda dan paruh baya, seseroang tadi mulai harus memperhatikan Artha, dan Kama.

Seseorang harus merindukan kesenangan duniawi selama masa muda dan paruh baya. Alasannya, selama periode ini seseorang secara fisik dan mental cocok untuk menikmati keintiman dengan lawan jenis.

Sementara "di usia tuanya, seseorang harus mengabdikan dirinya untuk mengabdi pada agama dan berjuang untuk mencapai keselamatan," tutup Joanne Reed dalam tulisannya.

Menariknya, Kama Sutra bagaimana pun dipandang dunia barat sebagai pedoman penting tentang seni memuaskan pasangan. Seperti halnya di beberapa negara Eropa yang memandang pentingnya salah satu produk mitologi Hindu ini.

Jerman Timur dan Cekoslowakia hidup sebagai negara yang positif seks. Para pemimpinnya percaya bahwa keintiman yang lebih baik merupakan manfaat unik dari kehidupan dalam masyarakat nonkapitalis.

Sampai hari ini, di Indonesia atau bahkan banyak negara lainnya, menjadikan Kama Sutra sebagai pedoman klinis di dunia medis. Terkait praktik hubungan intim yang sehat dan dianjurkan secara medis.

Dapat diperkirakan bahwa ajaran Kama Sutra telah dipraktikkan oleh segenap raja-raja di Nusantara selama berkembangnya periode Hindu Buddha di negeri ini. Setelahnya, sekira abad ke-18, kitab selaras muncul: Serat Centhini.

Serat Centhini yang digubah R.M.A. Sumahatmaka atas perintah Adipati Anom yang kelak bergelar Pakubuwana V. Serat Centhini ini sedikit banyak juga membahas tentang seksualitas ala Jawa.