Kama Sutra hingga Serat Centhini yang Sensual dalam Mitologi Hindu

By Galih Pranata, Selasa, 4 Juli 2023 | 09:30 WIB
Pahatan erotis Kama Sutra sebagai bagian dari mitologi Hindu di dinding Pagoda Hitam, Kuil Matahari di Konarak, provinsi Sistan dan Baluchestan, Iran. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Kama Sutra dikenal oleh masyarakat luas sebagai pedoman seks bagi orang-orang India kuno. Pengucapan Kama Sutra membawa kita pada gambaran lukisan dinding erotis.

Dalam relief-relief itu, digambarkan orang-orang cantik dalam kondisi telanjang yang berpelukan dalam posisi yang cukup eksotis. Wanita-wanita itu memiliki bentuk tubuh yang eksotis dan ideal, membuat setiap instruktur yoga menjadi insecure dibuatnya. 

Seorang tokoh bernama Mallanaga Vatsyayana, dikenal secara luas sebagai penulis dari kitab Kama Sutra, meski masih sangat sedikit yang diketahui tentangnya. Dikatakan bahwa dia menulis naskah itu melalui ilham ilahi setelah banyak melakukan meditasi.

"Kama Sutra berarti risalah tentang kenikmatan seksual," tulis Joanne Reed kepada History of Yesterday dalam artikel berjudul The Religious Insights of the Kama Sutra yang diterbitkan pada 11 November 2022.

Berbeda dengan pandangan Kristen yang memandang tujuan seksual sebagai prokreasi, dalam mitologi Hindu sejak abad ke-4, Kama Sutra merupakan pengembangan kenikmatan seksual yang terlepas dari prokreasi. Boleh dikata hal itu semacam pencarian religiusitas seseorang.

Seni rayuan dan pengejaran kenikmatan seksual seperti yang diungkapkan dalam Kama Sutra, merupakan bagian integral dari sastra Sanskerta. 

Secara keseluruhan kitab Kama Sutra ini terdiri dari 36 bab yang terbagi menjadi 7 bagian, dan telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk ke dalam bahasa Inggris. Kitab ini disadur ulang dengan menggunakan bahasa Inggris oleh Burton dan Doniger.

Orang bijak dan seniman yang menganut mitologi Hindu menganggap subjek ini sangat menarik. Hal inilah yang membuat mereka mengabadikan berbagai ajaran dan praktik Kama Sutra dalam bentuk tulisan dan pahatan batu di berbagai kuil di seluruh negeri.

Pada mulanya, sang pencipta dalam mitologi Hindu menciptakan pria dan wanita. Dalam bentuk perintah, sang pencipta menetapkan aturan terkait keberadaan keduanya sesuai dengan prinsip DharmaArtha, dan Kama.

Dalam tradisi dan mitologi Hindu, selama hidupnya, manusia harus mengejar tiga tujuan utama yang diperlukan untuk kehidupan yang memuaskan dan bahagia (DharmaArtha, dan Kama). 

Dharma adalah tugas individu yang dipenuhi dengan mematuhi adat atau hukum. Dharma mencakup kewajiban agama, hak moral, dan kewajiban, serta perilaku yang memungkinkan ketertiban sosial, perilaku yang baik, dan perilaku yang bajik. 

Prinsip ini mencakup apa yang harus diterima dan dihormati oleh semua makhluk yang ada untuk mempertahankan keharmonisan dan keteraturan di dunia.

Lebih-lebih Kama Sutra dalam mitologi Hindu tak hanya berbicara tentang kenikmatan seksual, tapi menjadi panduan untuk kehidupan mewah, membahas pengaturan rumah, seni kehidupan, dan manajemen hubungan dengan pasangan.

Dari 7 buku Kama Sutra, hanya satu bab dari salah satu buku yang menjelaskan soal posisi hubungan bercinta. (Govardhan)

Artha dalam bahasa Sansekerta berarti "kekayaan" atau "Kemakmuran". Artha menggabungkan kekayaan, karier, aktivitas untuk mencari nafkah, keamanan finansial, dan kemakmuran ekonomi.

Penting untuk dicatat bahwa pengejaran keuntungan materi harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip Dharma karena jika berlebihan akan menyebabkan ekses yang tidak diinginkan dan merusak.

Kama dalam bahasa Sansekerta berarti "cinta", "keinginan", dan "kesenangan" dan kenikmatan estetika hidup dengan atau tanpa konotasi seksual.

Pengejaran Kama sebagai “cinta” tidak boleh melanggar prinsip Dharma (tanggung jawab moral) dan Artha (kemakmuran material).

Dalam mitologi Hindu, manusia harus mempraktikkan DharmaArtha, dan Kama pada waktu yang berbeda dalam hidup mereka dan sedemikian rupa sehingga mereka selaras dan tidak berbenturan sama sekali.

Seseorang harus memperoleh pembelajaran dan pendidikan tentang ketiga prinsip itu sejak usia dini—terutama Dharma. Di masa muda dan paruh baya, seseroang tadi mulai harus memperhatikan Artha, dan Kama.

Seseorang harus merindukan kesenangan duniawi selama masa muda dan paruh baya. Alasannya, selama periode ini seseorang secara fisik dan mental cocok untuk menikmati keintiman dengan lawan jenis.

Sementara "di usia tuanya, seseorang harus mengabdikan dirinya untuk mengabdi pada agama dan berjuang untuk mencapai keselamatan," tutup Joanne Reed dalam tulisannya.

Menariknya, Kama Sutra bagaimana pun dipandang dunia barat sebagai pedoman penting tentang seni memuaskan pasangan. Seperti halnya di beberapa negara Eropa yang memandang pentingnya salah satu produk mitologi Hindu ini.

Jerman Timur dan Cekoslowakia hidup sebagai negara yang positif seks. Para pemimpinnya percaya bahwa keintiman yang lebih baik merupakan manfaat unik dari kehidupan dalam masyarakat nonkapitalis.

Sampai hari ini, di Indonesia atau bahkan banyak negara lainnya, menjadikan Kama Sutra sebagai pedoman klinis di dunia medis. Terkait praktik hubungan intim yang sehat dan dianjurkan secara medis.

Dapat diperkirakan bahwa ajaran Kama Sutra telah dipraktikkan oleh segenap raja-raja di Nusantara selama berkembangnya periode Hindu Buddha di negeri ini. Setelahnya, sekira abad ke-18, kitab selaras muncul: Serat Centhini.

Serat Centhini yang digubah R.M.A. Sumahatmaka atas perintah Adipati Anom yang kelak bergelar Pakubuwana V. Serat Centhini ini sedikit banyak juga membahas tentang seksualitas ala Jawa.