"Namun, perubahan pola makan yang meluas dan bertahan lama sangat sulit dicapai dengan cepat, jadi insentif yang mendorong konsumen untuk mengurangi daging merah atau membeli produk dengan keuntungan lingkungan yang lebih tinggi dapat membantu mengurangi emisi makanan."
Dalam studi ini para peneliti menganalisis data yang menghubungkan emisi ke konsumen antara tahun 2000 dan 2019. Studi mereka menyoroti konsumsi makanan di lima negara penghasil emisi tertinggi pada tahun 2019.
Rinciannya, berdasarkan data 2019, kelima negara yang dimaksud—yakni Tiongkok (2,0 Gt CO2-eq), India (1,3 Gt), india (1,1 Gt), Brasil (1,0 Gt) dan Amerika Serikat (1,0 Gt)—bertanggung jawab atas lebih dari 40% emisi rantai pasokan makanan global.
Berdasarkan studi ini, emisi gas rumah kaca global tahunan yang terkait dengan makanan meningkat sebesar 14% (2 Gt CO2-eq) selama periode 20 tahun.
Peningkatan substansial dalam mengonsumsi produk hewani berkontribusi pada sekitar 95% kenaikan emisi global, terhitung hampir setengah dari total emisi makanan. Daging sapi dan susu menyumbang 32% dan 46% dari peningkatan emisi berbasis hewani global.
Konsumsi biji-bijian dan tanaman penghasil minyak masing-masing bertanggung jawab atas 43% (3,4 Gt CO2-eq pada 2019) dan 23% (1,9 Gt CO2-eq) dari emisi nabati global.
Adapun beras berkontribusi terhadap lebih dari setengah dari emisi global terkait biji-bijian. Negara kita Indonesia (20%), China (18%), dan India (10%) menjadi tiga kontributor teratas emisi pangan berbasis nabati global ini.
Kedelai (0,6 Gt CO2-eq) dan minyak sawit (0,9 Gt CO2-eq) memiliki andil terbesar dalam emisi global dari tanaman minyak masing-masing sebesar 30% dan 46%.
Indonesia, konsumen minyak sawit terbesar di dunia, menghasilkan emisi terbesar dari minyak sawit (35% dari total global pada tahun 2019).
Studi ini mengungkapkan perbedaan yang cukup besar terkait pola emisi dan tren di balik ini. Secara khusus, Indonesia disorot sebagai salah satu negara dengan produksi intensif emisi, terutama dengan aktivitas perubahan penggunaan lahan yang ekstensif.
Para peneliti mencatat bahwa serangkaian kebijakan perdagangan mempercepat kenaikan emisi melalui peningkatan impor pangan dari negara/kawasan dengan produksi intensif emisi.
Misalnya, Kesepakatan Hijau Uni Eropa mendorong pertanian yang kurang intensif di Eropa dan meningkatkan impor produk pertanian dari negara-negara seperti Brasil, Amerika Serikat, Indonesia, dan Malaysia.