"Jika itu benar, O Dewa, bahwa Anda dapat memberikan segala sesuatu, saya berdoa untuk memiliki seorang istri [...] Yang seperti [Patung] gading saya."
Venus mendengar keinginan Pygmalion dan membuat api berkobar tiga kali sebagai tanda bahwa ia memahami apa yang dimintanya.
Ketika Pygmalion kembali ke rumah, ia mendekati istri gadingnya dan mencium bibirnya. Pada saat itu sesuatu yang aneh terjadi. Kali ini ia tidak perlu berpura-pura bahwa bibirnya hangat. Kali ini bibirnya benar-benar hangat dan terasa seperti bibir manusia.
“ini pasti daging,” kata Pygmalion. Patung itu sekarang hidup, telah menjadi Galatea, dan Galatea bisa merasakan ciuman Pygmalion.
Singkat cerita Pygmalion dan Galatea menikah dipandu oleh Venus sendiri. Dari pernikahan mereka, lahirlah Paphos, yang kemudian menjadi nama kota Paphos.
Kisah Pygmalion dan Galatea dari Kacamata Seni Klasik
Mitos Pygmalion dan Galatea dengan sempurna merangkum salah satu tujuan utama seni klasik; meniru alam.
“Bagi seni Yunani dan Romawi, karya seni harus meniru alam semirip mungkin,” jelas Antonis. Pengejaran terhadap realitas ini menjadi obsesi bagi para seniman kuno yang berusaha menciptakan ilusi realitas yang menipu mata.
Contoh paling terkenal adalah pelukis Yunani, Zeuxis, yang melukis buah anggur dengan sangat hidup sehingga burung-burung mencoba mematuknya.
Dalam hal ini, mitos Pygmalion memenuhi janji seni klasik. Pygmalion sangat berbakat sehingga ia mampu membuat karya seninya tampak seolah-olah itu bukan seni tapi kenyataan.
Seperti yang ditulis Ovid, "seninya menyembunyikan seninya". Seperti yang dicita-citakan orang-orang Yunani, Pygmalion tidak hanya mereproduksi alam dengan sempurna. Ia menyempurnakannya dengan menciptakan bentuk sempurna yang tidak ada di alam.