Struktur masyarakat dan pemerintah pusat yang efektif memungkinkan keshogunan melakukan kontrol besar atas urusan internal dan eksternal kekaisaran.
Dalam keadaan seperti inilah, benih kebijakan pengasingan diri mulai disebarkan.
Pada saat Eropa melakukan ekspansi dan perdagangan kolonial, Kekaisaran Jepang memilih jalan yang berbeda. Jepang justru menutup diri dari seluruh dunia.
Alasan sebenarnya mengapa Kekaisaran Jepang mengasingkan diri
Faktor internal menjadi pendorong utama dimulainya kebijakan isolasi. Keshogunan Tokugawa tertarik untuk mempertahankan kontrol sosial dan stabilitas politik, terutama setelah era hiruk pikuk Sengoku.
Inti dari ini adalah kebutuhan untuk membatasi kekuatan daimyo, penguasa daerah yang berpotensi menjadi ancaman bagi keshogunan.
Dengan membatasi perjalanan dan perdagangan ke luar negeri, keshogunan dapat mencegah para daimyo mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan. Hal itu bisa mencegah kemungkinan para daimyo menantang rezim Tokugawa.
Agama juga memainkan peran penting dalam keputusan untuk isolasi. Penyebaran agama Katolik dipandang sebagai faktor destabilisasi. Agama Katolik diperkenalkan oleh misionaris Portugis dan Spanyol pada abad ke-16 di Kekaisaran Jepang.
Keshogunan takut bahwa agama Katolik dapat digunakan sebagai dalih untuk pemerintahan. Selain itu, agama asing dipandang sebagai ancaman potensial terhadap tatanan yang mapan. Hal tersebut akan mendorong kesetiaan kepada kekuatan yang lebih tinggi di luar shogun.
Secara eksternal, momok kolonialisme tampak besar. Ekspansi agresif kekuatan Eropa, seperti Spanyol dan Portugal, ke bagian lain Asia menjadi perhatian yang signifikan. Contohnya Filipina yang jatuh di bawah kendali Spanyol. Saat itu, Kekaisaran Jepang ingin menghindari nasib serupa dan mempertahankan kedaulatannya.
Akhirnya, dampak ekonomi tidak dapat diabaikan. Keshogunan ingin mengendalikan perdagangan dan melindungi industri lokal dari persaingan asing.
Kebijakan isolasi merupakan cara untuk mengelola ekonomi dan mencegah eksploitasi oleh kekuatan asing.