Alasan Kekaisaran Jepang Menutup Pintu dari Dunia Luar di Era Sakoku

By Sysilia Tanhati, Jumat, 21 Juli 2023 | 19:00 WIB
Setetah periode perang berkepanjangan, Kekaisaran Jepang menutup diri dari dunia luar selama lebih dari 200 tahun. Apa sebabnya? (Yoshiwara no Hana Utamaro)

Bagaimana dampak isolasi di Kekaisaran Jepang?

Dari segi masyarakat dan ekonomi, isolasi membawa efek samping yang tak terduga. Kekaisaran Jepang masuk dalam periode yang relatif damai dan stabil yang dikenal sebagai Pax Tokugawa.

Kedamaian ini merangsang pertumbuhan ekonomi dan memungkinkan kemajuan di bidang pertanian. Pada akhirnya, pertumbuhan tersebut menyebabkan peningkatan populasi.

Iklim politik yang stabil juga memungkinkan berkembangnya budaya dan seni. Misalnya dengan munculnya teater kabuki, lukisan ukiyo-e, dan puisi haiku.

Di sisi lain, Kekaisaran Jepang juga terputus dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di seluruh dunia. Jepang telah berupaya mengembangkan solusi teknologi yang unik. Namun kekaisaran tidak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmiah pesat yang terlihat di Eropa selama Renaisans.

Di bidang budaya, isolasi Jepang memungkinkan pelestarian dan pengembangan praktik budaya yang unik, tidak tersentuh oleh pengaruh asing. Seni, sastra, filsafat, dan adat tradisional Jepang berkembang pesat. Hal tersebut menciptakan warisan budaya abadi yang terus menjadi bagian penting dari identitas Jepang saat ini.

Sementara isolasi memungkinkan perkembangan budaya dan sosial ini, itu juga memiliki kekurangannya. Dengan menutup pintunya ke seluruh dunia, Kekaisaran Jepang secara efektif mengunci diri dari jaringan perdagangan dan politik global. Kebijakan ini menghasilkan ekonomi yang terfokus secara internal dan mandiri, tetapi juga picik dan tahan terhadap perubahan.

Apakah Kekaisaran Jepang benar-benar tidak menjalin hubungan dengan pihak asing di Periode Sakoku?

“Meskipun kebijakan Sakoku pada dasarnya mengubah Jepang menjadi kekaisaran tertutup, penerapannya tidak mutlak. Ada beberapa pengecualian,” tulis Everett Munez di laman Britannica.

Terlepas dari narasi utama tentang isolasi total, Kekaisaran Jepang mempertahankan kontak yang terbatas dan terkontrol dengan dunia luar.

Keshogunan mengizinkan perdagangan terbatas dengan kekuatan asing tertentu melalui pelabuhan yang ditunjuk. Dejima, pulau buatan manusia di teluk Nagasaki, adalah satu-satunya tempat perdagangan dengan pihak asing meski terbatas.

Di sinilah Perusahaan Hindia Timur Belanda diizinkan berdagang. Belanda. Belanda dianggap tidak terlalu mengancam karena minat utama mereka pada perdagangan alih-alih konversi agama. Belanda-lah yang menjadi jendela Kekaisaran Jepang ke dunia Barat.

Perdagangan juga diizinkan dengan Tiongkok dan Korea melalui pelabuhan tertentu. Domain Tsushima bertanggung jawab atas hubungan dan perdagangan dengan Korea. Dan klan Matsumae menangani interaksi dengan orang Ainu dan pertukaran dengan Rusia di utara.

Perdagangan terkontrol ini melayani dua tujuan. Pertama, Kekaisaran Jepang memperoleh barang dan informasi yang diperlukan tentang dunia luar. Kedua, kekaisaran bisa mempertahankan isolasi secara keseluruhan.

Penegakan kebijakan bervariasi dari waktu ke waktu dan tunduk pada iklim politik keshogunan.

Kebijakan pengasingan diri ditegakkan oleh pembatasan maritim yang melarang perjalanan ke luar negeri oleh orang Jepang. Bahkan, pembuatan kapal besar pun dibatasi di masa itu.

Bakufu (pemerintah militer) juga mengendalikan informasi yang masuk, menyensor dan melarang buku-buku Kristen dan Barat.

Kebijaksanaan Kekaisaran Jepang membawa kebaikan dan keburukan, tergantung dari mana kita memandangnya. Di satu sisi, isolasi ini melestarikan kebudayaan. Di sisi lain, Kekaisaran Jepang tertinggal dalam beberapa hal dengan kerajaan atau negara lain. Namun dengan adanya Restorasi Meiji, Kekaisaran Jepang mulai membuka diri secara perlahan.