Alasan Kekaisaran Jepang Menutup Pintu dari Dunia Luar di Era Sakoku

By Sysilia Tanhati, Jumat, 21 Juli 2023 | 19:00 WIB
Setetah periode perang berkepanjangan, Kekaisaran Jepang menutup diri dari dunia luar selama lebih dari 200 tahun. Apa sebabnya? (Yoshiwara no Hana Utamaro)

Nationalgeographic.co.id—Di bawah naungan Keshogunan Tokugawa yang perkasa, Negeri Matahari Terbit menarik diri ke dalam dunianya sendiri yang bercahaya. Saat itu, Keshogunan Togugawa memutuskan hubungan dengan dunia luar. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya sepanjang sejarah Kekaisaran Jepang.

Keputusan abad ke-17 mengubah Kekaisaran Jepang menjadi kekaisaran pertapa. Bangsa itu memilih untuk mengasingkan diri, menutup pintunya dari angin pengaruh asing dan aspirasi kolonial yang berfluktuasi. Periode ini dikenal dengan sebutan Periode Sakoku.

Namun, apa yang mendorong Kekaisaran Jepang untuk menutup pintu dan mengasingkan diri dari dunia luar?

Bagaimana keterasingan ini membentuk evolusi sosial dan budaya di kekaisaran yang kaya sejarah dan budaya itu? Di saat yang sama, bagian dunia lainnya bergerak maju dalam pergolakan eksplorasi dan ekspansi.

Latar belakang berdarah zaman feodal Jepang

Untuk memahami era isolasi Kekaisaran Jepang, kita harus menyelami konteks sejarah yang mengatur panggung untuk perubahan dramatis ini.

Periode sebelum Sakoku ditandai dengan perang feodal yang tiada henti, ketidakstabilan politik, dan kerusuhan sosial. Masa ini dikenal dengan sebutan Periode Sengoku atau Periode Negara Berperang (1467-1615).

Di Periode Sengoku, para daimyo atau penguasa feodal saling bersaing untuk menguasai wilayah. Bisa dibayangkan bagaimana situasi di Kekaisaran Jepang saat itu, penuh kekacauan dan pertempuran.

Saat pertempuran mereda, kekuatan baru muncul dan menawarkan janji persatuan dan stabilitas.

“Keshogunan Tokugawa, didirikan oleh Tokugawa Ieyasu, berhasil mempersatukan Kekaisaran Jepang di bawah satu pemerintahan,” tulis Aleksa Vuckovic di laman Ancient Origins.

Selama waktu ini, Kekaisaran Jepang mengalami masa damai, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas yang panjang. Tentu saja, kondisi terseut sangat kontras dengan tahun-tahun kacau yang mendahuluinya.

Keshogunan Tokugawa menetapkan sistem kasta feodal yang ketat, dengan shogun di puncak, diikuti oleh samurai, petani, dan pedagang. Hierarki ini memperkuat tatanan sosial, memastikan kontrol internal, dan selanjutnya mengonsolidasikan kekuatan Tokugawa.

Struktur masyarakat dan pemerintah pusat yang efektif memungkinkan keshogunan melakukan kontrol besar atas urusan internal dan eksternal kekaisaran.

Dalam keadaan seperti inilah, benih kebijakan pengasingan diri mulai disebarkan.

Pada saat Eropa melakukan ekspansi dan perdagangan kolonial, Kekaisaran Jepang memilih jalan yang berbeda. Jepang justru menutup diri dari seluruh dunia.

Alasan sebenarnya mengapa Kekaisaran Jepang mengasingkan diri

Faktor internal menjadi pendorong utama dimulainya kebijakan isolasi. Keshogunan Tokugawa tertarik untuk mempertahankan kontrol sosial dan stabilitas politik, terutama setelah era hiruk pikuk Sengoku.

Inti dari ini adalah kebutuhan untuk membatasi kekuatan daimyo, penguasa daerah yang berpotensi menjadi ancaman bagi keshogunan.

Dengan membatasi perjalanan dan perdagangan ke luar negeri, keshogunan dapat mencegah para daimyo mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan. Hal itu bisa mencegah kemungkinan para daimyo menantang rezim Tokugawa.

Agama juga memainkan peran penting dalam keputusan untuk isolasi. Penyebaran agama Katolik dipandang sebagai faktor destabilisasi. Agama Katolik diperkenalkan oleh misionaris Portugis dan Spanyol pada abad ke-16 di Kekaisaran Jepang.

Keshogunan takut bahwa agama Katolik dapat digunakan sebagai dalih untuk pemerintahan. Selain itu, agama asing dipandang sebagai ancaman potensial terhadap tatanan yang mapan. Hal tersebut akan mendorong kesetiaan kepada kekuatan yang lebih tinggi di luar shogun.

Secara eksternal, momok kolonialisme tampak besar. Ekspansi agresif kekuatan Eropa, seperti Spanyol dan Portugal, ke bagian lain Asia menjadi perhatian yang signifikan. Contohnya Filipina yang jatuh di bawah kendali Spanyol. Saat itu, Kekaisaran Jepang ingin menghindari nasib serupa dan mempertahankan kedaulatannya.

Akhirnya, dampak ekonomi tidak dapat diabaikan. Keshogunan ingin mengendalikan perdagangan dan melindungi industri lokal dari persaingan asing.

Kebijakan isolasi merupakan cara untuk mengelola ekonomi dan mencegah eksploitasi oleh kekuatan asing.

Bagaimana dampak isolasi di Kekaisaran Jepang?

Dari segi masyarakat dan ekonomi, isolasi membawa efek samping yang tak terduga. Kekaisaran Jepang masuk dalam periode yang relatif damai dan stabil yang dikenal sebagai Pax Tokugawa.

Kedamaian ini merangsang pertumbuhan ekonomi dan memungkinkan kemajuan di bidang pertanian. Pada akhirnya, pertumbuhan tersebut menyebabkan peningkatan populasi.

Iklim politik yang stabil juga memungkinkan berkembangnya budaya dan seni. Misalnya dengan munculnya teater kabuki, lukisan ukiyo-e, dan puisi haiku.

Di sisi lain, Kekaisaran Jepang juga terputus dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di seluruh dunia. Jepang telah berupaya mengembangkan solusi teknologi yang unik. Namun kekaisaran tidak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmiah pesat yang terlihat di Eropa selama Renaisans.

Di bidang budaya, isolasi Jepang memungkinkan pelestarian dan pengembangan praktik budaya yang unik, tidak tersentuh oleh pengaruh asing. Seni, sastra, filsafat, dan adat tradisional Jepang berkembang pesat. Hal tersebut menciptakan warisan budaya abadi yang terus menjadi bagian penting dari identitas Jepang saat ini.

Sementara isolasi memungkinkan perkembangan budaya dan sosial ini, itu juga memiliki kekurangannya. Dengan menutup pintunya ke seluruh dunia, Kekaisaran Jepang secara efektif mengunci diri dari jaringan perdagangan dan politik global. Kebijakan ini menghasilkan ekonomi yang terfokus secara internal dan mandiri, tetapi juga picik dan tahan terhadap perubahan.

Apakah Kekaisaran Jepang benar-benar tidak menjalin hubungan dengan pihak asing di Periode Sakoku?

“Meskipun kebijakan Sakoku pada dasarnya mengubah Jepang menjadi kekaisaran tertutup, penerapannya tidak mutlak. Ada beberapa pengecualian,” tulis Everett Munez di laman Britannica.

Terlepas dari narasi utama tentang isolasi total, Kekaisaran Jepang mempertahankan kontak yang terbatas dan terkontrol dengan dunia luar.

Keshogunan mengizinkan perdagangan terbatas dengan kekuatan asing tertentu melalui pelabuhan yang ditunjuk. Dejima, pulau buatan manusia di teluk Nagasaki, adalah satu-satunya tempat perdagangan dengan pihak asing meski terbatas.

Di sinilah Perusahaan Hindia Timur Belanda diizinkan berdagang. Belanda. Belanda dianggap tidak terlalu mengancam karena minat utama mereka pada perdagangan alih-alih konversi agama. Belanda-lah yang menjadi jendela Kekaisaran Jepang ke dunia Barat.

Perdagangan juga diizinkan dengan Tiongkok dan Korea melalui pelabuhan tertentu. Domain Tsushima bertanggung jawab atas hubungan dan perdagangan dengan Korea. Dan klan Matsumae menangani interaksi dengan orang Ainu dan pertukaran dengan Rusia di utara.

Perdagangan terkontrol ini melayani dua tujuan. Pertama, Kekaisaran Jepang memperoleh barang dan informasi yang diperlukan tentang dunia luar. Kedua, kekaisaran bisa mempertahankan isolasi secara keseluruhan.

Penegakan kebijakan bervariasi dari waktu ke waktu dan tunduk pada iklim politik keshogunan.

Kebijakan pengasingan diri ditegakkan oleh pembatasan maritim yang melarang perjalanan ke luar negeri oleh orang Jepang. Bahkan, pembuatan kapal besar pun dibatasi di masa itu.

Bakufu (pemerintah militer) juga mengendalikan informasi yang masuk, menyensor dan melarang buku-buku Kristen dan Barat.

Kebijaksanaan Kekaisaran Jepang membawa kebaikan dan keburukan, tergantung dari mana kita memandangnya. Di satu sisi, isolasi ini melestarikan kebudayaan. Di sisi lain, Kekaisaran Jepang tertinggal dalam beberapa hal dengan kerajaan atau negara lain. Namun dengan adanya Restorasi Meiji, Kekaisaran Jepang mulai membuka diri secara perlahan.