Awal Kedatangan Belanda di Jawa dalam Catatan Sejarah Kolonial

By Galih Pranata, Rabu, 26 Juli 2023 | 08:20 WIB
Litograf kapal Cornelis de Houtman yang akan berlayar ke Hindia. De Houtman tercatat sebagai Belanda pertama yang mencapai Jawa dalam catatan sejarah kolonial. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Akibat krisis ekonomi yang terjadi, Kerajaan Belanda menginisiasi untuk mencari peruntungan dengan melakukan pelayaran jauh ke dunia Timur: menggapai Hindia (Kepulauan Nusantara).

Tercatat dalam sejarah kolonial, empat armada Kerajaan Belanda bertolak dari Belanda menuju Hindia.

Empat kapal itu bernama Hollandia, Amsterdam, Mauritius dan kapal kecil lainnya bernama Het Duyfken.

Kapal-kapal tersebut secara resmi dikomandoi oleh Cornelis de Houtman.

Namun, De Houtman harus membagi kekuasaannya dengan dewan kapal yang terdiri dari semua perwira dan pedagang di kapal.

Kemudian, pada tanggal 22 Juni 1596, armada-armada Belanda itu tiba di Selat Sunda, antara Sumatra dan Batavia. Keempat kapal Belanda pertama itu dikawal oleh seorang navigator setempat.

Kapal-kapal Belanda itu diarahkan ke Banten, sebuah kota di Jawa Barat yang menjadi ibu kota Kesultanan Banten.

Dalam catatan sejarah kolonial, Kesultanan Banten membentang dari Jawa bagian barat hingga Sumatera bagian selatan.

"Ketika De Houtman mengunjungi Banten, ia pergi ke darat dengan berpakaian beludru dan satin dengan rombongan sekitar dua puluh orang," tulis Responden IsGeschiedenis dalam artikelnya berjudul De eerste Nederlanders in Indië, terbitan 14 Januari 2021.

Seorang pemain terompet berjalan di depan dan seorang bintara memegang kerai di atas kepala De Houtman.

Bagaimanapun, De Houtman dianggap sebagai orang Belanda pertama yang mampu mencapai Hindia dalam catatan sejarah kolonial.

Selain De Houtman, pelaut lainnya bernama Lambert Biesman, disebut terkagum-kagum dan menulis tentang apa yang dilihatnya di pasar-pasar kota Jawa.

Biesman menyebut bahwa "para pedagang dari berbagai negara berkumpul di sini (Portugis, Arab, Turki, Cina, Malaysia, Abyssinia, Bengali, dan sebagainya)."

Ia terlihat sangat terkesan dengan panorama dengan segala hal yang ia temui di Banten. Biesman menyerap semua bau, warna, dan suara eksotis yang aneh.

Rempah-rempah dan barang dagangan yang dilihatnya hampir semuanya sama sekali tidak dikenalnya.

Selepas mendarat, pemimpin rombongan, De Houtman bergegas menemui pemimpin setempat.

Catatan sejarah kolonial menyebut, De Houtman menemui Bupati Banten bernama Ki-Patih Djajanagara untuk mengadakan perjanjian dagang.

Sejak awal kedatangan para pelaut Belanda, mereka sangat tertarik dengan lada yang tumbuh di daerah tersebut. Sebab, kualitasnya yang sangat bagus.

Sang Bupati Djajanagara membawa De Houtman ke sultan utama Jawa, Keling Padjang.

Setelah berunding beberapa hari, De Houtman dan Padjang akhirnya mencapai kesepakatan pada 3 Juli.

Mereka bersepakat, para pedagang Belanda akan diberikan status istimewa atas para pedagang Portugis di wilayah tersebut dan sebagai imbalannya Belanda akan membantu sultan pada masa perang.

Perjanjian perdagangan Houtman belum selesai selama dua bulan, ketika masalah sudah muncul.

Begitu kembali ke Banten, dia melihat orang Portugis sedang memuat lada ke atas kapal mereka.

"De Houtman yang pemarah percaya bahwa perjanjian perdagangannya dengan sultan telah dilanggar dan mengancam akan meminta semua kargo di atas kapal Portugis," imbuhnya.

Portugis telah dikenal sebagai mitra dagang yang dapat diandalkan di Banten selama bertahun-tahun. Mereka menyebarkan desas-desus bahwa Belanda tidak dapat dipercaya. Orang Portugis memfitnah bahwa Belanda hanya mencari keuntungan belaka.

Orang-orang Portugis menuding setelah para Belanda mengambil semua lada dari Banten, mereka akan menghancurkan seluruh kota. Akibat desas-desus itu, Sultan Banten segera mengambil langkah tegas.

Dalam catatan sejarah kolonial, para pelancong dari Belanda, termasuk Cornelis De Houtman akhirnya ditangkap pada 5 September 1596.

Segera, awak kapal Belanda yang belum sempat ditangkap, mulai menghancurkan kota Banten dengan meriam kapalnya.

Setelah kerusakan parah yang terjadi di kota pelabuhan Banten, Belanda menarik kapal-kapalnya untuk menjauh dari daratan.

Tak diketahui dengan pasti dalam catatan sejarah kolonial, ke mana mereka pergi dan melabuhkan kapal-kapalnya.

Kapal yang menjadi saksi bisu terjadinya bencana perampokan kapal Belanda di Sedajoe pada tahun 1596. (Alamy Photo)

Setelah dua minggu kehabisan bekal logistik, kapal-kapal Belanda itu terlihat kembali menyandarkan kapalnya di pelabuhan Banten.

Mereka kehabisan akal selain harus membebaskan pemimpin mereka, De Houtman.

Sejumlah awak dalam armada Belanda itu kembali dan melakukan beberapa negosiasi. Alhasil, dibayarkan uang tebusan kepada Gubernur Banten.

De Houtman dan awak kapal lainnya yang ditangkap akhirnya dapat dibebaskan.

Setelah mengalami kepayahan, Belanda menginginkan beberapa rempah lainnya dari Hindia Timur.

Mereka bergegas ke Maluku, namun melabuhkan armada-armadanya di Sedajoe, bagian Barat pulau Jawa.

Awalnya orang-orang penduduk setempat di sana terkesan sangat ramah. Sampai kemudian mereka melihat kapal Belanda itu membawa cengkih dan lada dalam jumlah besar.

Pribumi Sedajoe itu meminta kepada De Houtman naik ke kapalnya yang megah. De Houtman hanya melihat pribumi itu selayaknya penduduk primitif, lantas mengizinkan mereka untuk naik ke kapalnya, kapal Amsterdam.

Secara mengejutkan, ternyata semua itu adalah jebakan. Hanya dalam hitungan beberapa menit, dua belas orang Belanda di kapal Amsterdam telah terbunuh.

Dalam catatan sejarah kolonial, disebutkan bahwa para awak kapal dikalahkan dengan Spiessen, Boomen, Braetspeten, dan pedang.

Orang-orang Belanda itu yakin bahwa Portugis telah berhasil mencuci pikiran seluruh penduduk di pulau Jawa untuk memusuhi pelaut-pelaut Belanda. 

Namun, kemudian De Houtman telah mengetahui bahwa di kawasan Sedajoe dikenal dengan banyaknya bajak laut dan perompak yang terkenal kejam.

Perjalanan awal rombongan De Houtman tak berjalan mulus. Setelah mampir sebentar ke Bali, mereka dikisahkan kembali lagi ke Belanda karena kondisi yang tak memungkinkan.

Beberapa kapal Belanda itu kembali dengan 245 karung lada, 45 ton pala, 30 bal fuli dan beberapa porselen Cina, yang cukup untuk menutupi biaya pelayaran.

Namun, sesampainya rombongan De Houtman di Belanda, orang-orang di Amsterdam malah dikejutkan oleh sedikitnya awak kapal yang kembali dengan kondisi sehat dan hidup.

Sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan tercatat dalam catatan sejarah kolonial di Hindia Belanda.