Pertama Kalinya, Batu Plastik Teridentifikasi di Pantai Indonesia

By Ricky Jenihansen, Senin, 24 Juli 2023 | 12:00 WIB
Plastiglomerat puing-puing karang yang disatukan oleh puing-puing plastik yang meleleh. Batu plastik ini dapat membahayakan lingkungan. (Birgit Mohr, Kiel University)

Nationalgeographic.co.id—Untuk pertama kalinya, plastiglomerat atau batu plastik teridentifikasi di pantai Indonesia. Tim peneliti Indonesia-Jerman mengumpulkan total 25 sampel lapangan dari pantai di Pulau Panjang di sisi barat pulau Jawa Indonesia.

Batu plastik merupakan kontaminan yang terbentuk secara alami dari campuran plastik dengan pasir, pecahan karang atau bahan organik lainnya. Pembentuk batu plastik berasal dari aktivitas manusia seperti melelehkan sampah plastik.

Sampah plastik yang dibakar dan dibuang begitu saja, pada akhirnya bercampur dengan bahan organik lainnya membentuk batu plastik.

Sekarang, tim peneliti Indonesia-Jerman di Kiel University telah menunjukkan bahwa batuan semacam itu meningkatkan risiko lingkungan terhadap ekosistem pesisir seperti padang lamun, hutan bakau, atau terumbu karang.

Mereka menggunakan sampel lapangan dari Pulau Panjang, di sisi barat Pulau Jawa, Indonesia. Dan untuk pertama kalinya, mereka mengidentifikasi batu plastik di pantai Indoensia.

Temuan tersebut telah dipublikasikan di jurnal Scientific Reports. Jurnal tersebut diterbitkan dengan judul "Plastiglomerates from uncontrolled burning of plastic waste on Indonesian beaches contain high contents of organic pollutants" dan merupakan jurnal akses teruka.

“Sampai saat ini, ada penelitian yang agak mendasar yang menjelaskan pembentukan plastiglomerat (batu plastik)," kata penulis pertama Amanda Utami.

Utami adalah peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dan datang ke Kiel University untuk beasiswa selama tiga bulan.

"Dengan hasil kami, kami telah menunjukkan untuk pertama kalinya bagaimana plastiglomerat berbeda dari sampah plastik lainnya dan dapat membuat pernyataan yang lebih baik tentang dampak lingkungannya.”

Penelitian ini dimungkinkan dengan pendanaan dari German Academic Exchange Service (DAAD) dan kerja sama antara BRIN dan para ilmuwan di bidang penelitian prioritas Ilmu Kelautan Kiel (KMS) di Kiel University.

Amanda Utami (duduk di tengah) bersama rekannya mengumpulkan sampel lapangan di Indonesia untuk penelitiannya. (Dwi Amanda Utami, BRIN)

Wawasan baru melalui kerjasama internasional

Jika sampah plastik dibakar langsung di pantai, proses pelelehan dan pembakaran ini menghasilkan batu plastik atau plastiglomerat. Kontaminan ini, matriks plastiknya adalah rantai karbon terdegradasi.

Plastik yang terdegradasi secara kimia ini lebih cepat menjadi mikroplastik melalui paparan angin, ombak, dan butiran sedimen di pantai.

Proses pembakaran yang tidak sempurna melepaskan polutan baru dari plastik yang mula-mula mengendap di plastik kemudian terlepas ke lingkungan.

Kontaminan ini seringkali memiliki relevansi ekotoksikologi yang lebih tinggi daripada plastik induk. Berpotensi mencemari lingkungan lebih cepat, dan masuk ke dalam rantai makanan dan menjadi racun bagi kehidupan.

Ilmuwan Utami mengumpulkan total 25 sampel lapangan dari pantai di Pulau Panjang di sisi barat pulau Jawa Indonesia. Ia menganalisisnya di laboratorium bersama dengan peneliti dari Kiel University.

Salah satunya adalah Lars Reuning, promotor Utami di Kiel University dan penulis kedua studi tersebut. Reuning adalah anggota Kelompok Riset Paleontologi di Institut Geosains di Kiel University.

"Analisis kami menunjukkan bahwa Plastiglomerat terkontaminasi dengan polutan organik."

Meskipun hasil lebih lanjut tentang bioakumulasi masih tertunda, mereka dapat diklasifikasikan sebagai berpotensi karsinogenik atau menjadi racun bagi manusia.

Kelompok kerja, yang dipimpin oleh Profesor Miriam Pfeiffer, juga terlibat dalam Program Prioritas Ilmu Bumi German Research Foundation's (DFG) 2299 "Variabilitas Iklim Tropis dan Terumbu Karang."

Utami mengumpulkan total 25 sampel lapangan dari pantai di Pulau Panjang di sisi barat pulau Jawa Indonesia. (Dwi Amanda Utami, Kiel University and BRIN)

Investigasi kimia polutan

Para peneliti pertama-tama membedakan sampel batu plastik atau plastiglomerat menurut kriteria optik. Mereka membaginya menjadi sampel yang kurang kuat dan lebih kuat meleleh atau terbakar.

Peneliti kemudian mengekstrak polutan yang mudah menguap dengan bantuan pelarut. Analisis ini dilakukan oleh Kelompok Geokimia Organik Profesor Lorenz Schwark di Institute of Geosciences.

Hasilnya mengungkapkan, misalnya, kontaminasi dengan hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) dan ftalat. Senyawa itu biasanya digunakan sebagai peliat untuk plastik.

Para ahli menganggap kedua golongan zat tersebut berpotensi tinggi menyebabkan kanker.

Tim peneliti juga menggunakan metode fisikokimia dan perbandingan dengan database. Tujuannya untuk mengkarakterisasi sifat polimer seperti polypropylene (PP) atau polyethylene (PE) atau campurannya.

Mereka melakukan pengukuran menggunakan Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR) dalam kelompok kerja Profesor Gernot Friedrichs di Institut Kimia Fisika di Kiel University untuk menyelidiki tingkat pelapukan.

Hasilnya adalah, area yang terlihat lebih terpapar proses pembakaran, ternyata juga menunjukkan tingkat pelapukan dan oksidasi yang lebih tinggi.

Dampak pada ekosistem pesisir

"Untuk menilai kerusakan lingkungan dengan lebih baik, kami saat ini sedang meneliti komposisi yang tepat dari polutan organik yang terkait dengan plastik, seperti senyawa organofosfor", kata ahli geokimia Schwark.

Menurutnya, yang juga menarik adalah kecenderungan plastiglomerat atau batu plastik mudah membusuk.

"Biasanya, foto-oksidasi oleh sinar UV mempengaruhi lapisan atas plastik. Tapi termo-oksidasi dengan membakar limbah plastik secara signifikan mengubah struktur internal material juga", kata ahli geosains Reuning.

Di masa depan, banyak ekosistem pesisir perairan tropis di Indonesia maupun di seluruh dunia akan terpengaruh oleh Plastiglomerat atau batu plastik.

Studi telah menunjukkan bahwa polutan organik juga ditransfer ke karang atau organisme laut lainnya. Dan dengan demikian dapat berdampak negatif pada kesehatan laut.

Oleh karena itu penelitian lebih lanjut juga melihat ekosistem lain seperti padang lamun, mangrove atau organisme yang hidup di sedimen.

"Dibandingkan sampah plastik biasa, sifat unik Plastiglomerat membutuhkan bentuk pengelolaan pesisir yang spesifik", Utami menyimpulkan.

“Jika sampah dari daerah perkotaan di pantai tropis dibuang dan dikelola dengan lebih baik, masalah serius dapat dicegah.”

Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media #SayaPilihBumi #SisirPesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.