Diversitas Barbie Bagi Populasi Rentan Penyandang Disabilitas

By Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya, Kamis, 27 Juli 2023 | 21:00 WIB
Tampilan baru boneka Barbie penyandang disabilitas, setelah di tahun 1997 Share a Smile Becky produksinya dihentikan. (Amazon Fashion)

Barbie telah banyak dikritik ketika menyampaikan pesannya yang tidak pas kepada anak-anak terkait ras, gender, dan citra tubuh.

Alih-alih mencegah “Sindrom Barbie”, anak-anak bermain dengan boneka dengan keragaman citra tubuh.

Sindrom Barbie adalah istilah yang digunakan ketika seseorang menginginkan bentuk tubuh dan gaya fashion Barbie.

Seseorang dengan sindrom ini menganggap Barbie memiliki tubuh paling ideal dan proposional.

Pada tahun 2020, Mattel memproduksi variasi boneka Barbie penyandang diasbilitas.

Kali ini, Mattel memuat konsep permainan yang memiliki tujuan menciptakan dampak positif dan mendukung keragaman.

Disabilitas atau cacat fisik sering barada dalam wacana medis. Pendekatan sosial dan budaya mengakui bahwa kecacatan lebih dari sekedar kondisi atau keterbatasan medis seseorang.

Dikutip dari The Guardian, Karl Knights seorang penulis autis dengan cerebal palsy mengungkapkan, "Meskipun hanya sekedar mainan, namun mainan Barbie yang menyandang disabilitas ini memberikan identitas bagi penyandang disabilitas sehingga memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat".

Sejarah awal lahirnya Barbie pada 1950-an memang ditampilkan sebagai boneka fashion dengan pakaian dan aksesoris yang modis.

Ketika itu Ruth Handler, pencipta boneka Barbie menemukan ide gagasan dari inspirasi boneka asal Jerman yang bernama Bild Lili.

Kepada suaminya Elliot pendiri perusahaan mainan Mattel, Ruth Handler menyampaikan ide membuat boneka versi dewasa karena pada saat itu banyak boneka dalam rupa bayi.

Boneka Barbie muncul pertama kali dalam ajang American International Toy Fair di New York pada 9 Maret 1959. Mattel mengakuisisi hak cipta boneka Lili pada tahun 1964 dan pada tahun itu produksi boneka Lili dihentikan.