Nationalgeographic.co.id—Sejarah revolusi mainan penyandang disabilitas tampaknya sudah mulai dikampanyekan pada 1970. Ketika itu Mike Power action figure G.I. Joe dirilis dengan anggota tubuh yang cacat dan dikembangkan menjadi bagian atomik pada tubuhnya.
Sebenarnya Share a Smile Becky, teman Barbie yang merupakan pengguna kursi roda sudah rilis di tahun 1996.
Namun kursi roda tersebut tidak cocok dengan Barbie's Dreamhouse karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan Becky.
Hal ini menimbulkan kritik publik. Karena situasi ini dinilai mencerminkan kenyataan bahwa penyandang disabilitas dikucilkan dari ruang publik.
Padahal kala itu boneka Becky menerima tanggapan positif dari media dan sekitar enam ribu boneka terjual dalam waktu dua minggu pertama peluncuran.
Sejarah kembali mencatat, dua puluh tahun setelah boneka Becky dihentikan. Pada 2009 dirilis boneka Barbie dengan kursi roda dan boneka Barbie lain mengenakan kaki prostetik. Hal ini menandai kampanye Mattel terhadap keragaman populasi khususnya diasbilitas.
Selain disabilitas, keragaman lain yang disediakan adalah berbagai macam boneka dengan tipe tubuh yang berbeda dari bentuk tubuh, warna kulit, dan gaya rambut.
Perusahaan mengklaim memulai kampanye "Play Fair" sebagai bentuk upaya mengatasi rasisme dan ketidakadilan.
Mereka memperkenalkan disabilitas di lini boneka fashion. Sebuah permainan anak untuk memperkenalkan percakapan diantara anak-anak tentang disabilitas.
Kegiatan bermain boneka memberi anak kegembiraan dan membuka ruang imajinasi. Mainan juga melakukan fungsi pendidikan dengan memberikan informasi sosial dan budaya.
Ellis dari Universitas Curtin melakukan penelitian dengan peneliti di Indonesia mengenai dampak sosial mainan Barbie.
Ia berpendapat bahwa "Melalui mainan, orang dewasa mengomunikasikan dunia seperti apa yang harus disiapkan oleh anak-anak".
Barbie telah banyak dikritik ketika menyampaikan pesannya yang tidak pas kepada anak-anak terkait ras, gender, dan citra tubuh.
Alih-alih mencegah “Sindrom Barbie”, anak-anak bermain dengan boneka dengan keragaman citra tubuh.
Sindrom Barbie adalah istilah yang digunakan ketika seseorang menginginkan bentuk tubuh dan gaya fashion Barbie.
Seseorang dengan sindrom ini menganggap Barbie memiliki tubuh paling ideal dan proposional.
Pada tahun 2020, Mattel memproduksi variasi boneka Barbie penyandang diasbilitas.
Kali ini, Mattel memuat konsep permainan yang memiliki tujuan menciptakan dampak positif dan mendukung keragaman.
Disabilitas atau cacat fisik sering barada dalam wacana medis. Pendekatan sosial dan budaya mengakui bahwa kecacatan lebih dari sekedar kondisi atau keterbatasan medis seseorang.
Dikutip dari The Guardian, Karl Knights seorang penulis autis dengan cerebal palsy mengungkapkan, "Meskipun hanya sekedar mainan, namun mainan Barbie yang menyandang disabilitas ini memberikan identitas bagi penyandang disabilitas sehingga memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat".
Sejarah awal lahirnya Barbie pada 1950-an memang ditampilkan sebagai boneka fashion dengan pakaian dan aksesoris yang modis.
Ketika itu Ruth Handler, pencipta boneka Barbie menemukan ide gagasan dari inspirasi boneka asal Jerman yang bernama Bild Lili.
Kepada suaminya Elliot pendiri perusahaan mainan Mattel, Ruth Handler menyampaikan ide membuat boneka versi dewasa karena pada saat itu banyak boneka dalam rupa bayi.
Boneka Barbie muncul pertama kali dalam ajang American International Toy Fair di New York pada 9 Maret 1959. Mattel mengakuisisi hak cipta boneka Lili pada tahun 1964 dan pada tahun itu produksi boneka Lili dihentikan.
Seiring perjalanan sejarah peradaban sosial dan pendidikan bagi masyarakat, Barbie ditampilkan di kursi roda dan memakai kaki prostetik.
Bahkan, ia memiliki kondisi fisik tertentu seperti vitiligo (kehilangan warna kulit) atau alopecia (rambut rontok).
Melalui permainan yang menyenangkan, anak-anak diajak berempati dan berkreasi dengan kondisi yang ada Barbie dapat menjadi modis dan bergaya.
Berdasarkan Survei Nasional tahun 2020 di Indonesia, sekitar 9 persen atau 22,5 juta penduduk Indonesia menyandang disabilitas.
Sejak 2011, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) dan telah mengesahkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Undang-undang ini memberikan dasar hukum tentang kedudukan dan hak penyandang disabilitas.
Namun demikian, penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi tantangan di beberapa bidang seperti akses layanan kesehatan, pendidikan, serta memasuki pasar tenaga kerja.
Penyandang disabilitas masih menjadi salah satu kelompok yang paling terstigmatisasi, sebagian besar masih menghadapi diskriminasi dan perlakuan buruk dari masyarakat.
Kampanye inklusivitas Mattel dengan peluncuran boneka Barbie penyandang disabilitas disambut baik oleh media sosial dan berita daring sedunia, termasuk di Indonesia. Meskipun, di Indonesia boneka Barbie versi itu baru muncul di pasaran pada 2022.
Media menyoroti peluncuran boneka Barbie penyandang disabilitas sebagai salah satu tren mainan baru untuk tahun 2020.
Sebagai salah satu produsen mainan boneka terbesar, Indonesia menunjukkan peningkatan konsumsi pasar mainan. Tercatat dari 2012 hingga 2021 terjadi peningkatan rata-rata 5,7 persen per tahun.
PT Mattel Indonesia dilaporkan menyumbang lebih dari 35 persen dari total nilai ekspor mainan Indonesia ke dunia.
Perusahaan yang beroperasi di Indonesia sejak 1992 ini memiliki kapasitas produksi 85 juta boneka fashion per tahun.
Pencapaian ini telah berhasil mengekspor mainan anak buatan Indonesia ke berbagai negara di Asia Pasifik, Eropa, dan Amerika Serikat.