Sejarah Perang Salib: Katarisme Dianggap Sesat Karena Menolak Trinitas

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 5 Agustus 2023 | 09:00 WIB
Kisah kaum Katar adalah yang paling tragis dalam sejarah Perang Salib. Mereka menolak doktrin trinitas dan dianggap sesat. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Kisah kaum Katar adalah salah satu yang paling tragis dalam sejarah Perang Salib. Mereka menentang Gereja Katolik Roma, menolak surat-surat Paulus dan yang paling problematik adalah, menolak doktrin trinitas.

Penolakan kaum Katar memang bukan tanpa alasan. Doktrin trinitas sendiri tidak dikenal secara umum sebelum Konsili Nikea pada tahun 325 dan dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen Awal.

Konsili Nicea adalah pertemuan khusus para uskup sedunia yang digelar oleh Kaisar Konstantinus Agung di kota Nicea, Kekaisaran Romawi.

Konsili inilah yang kemudian merumuskan doktrin yang akan diseragamkan untuk seluruh umat Kristen. Pokok bahasannya termasuk pengakuan keimanan, tanggal perayaan Paskah hingga pembaptisan.

Namun demikian, sebenarnya interpretasi Konsili Nicea tentang doktrin Kristen bersaing dengan ajaran Kristen lain selama berabad-abad. Salah satu yang paling krusial adalah isu tentang keilahian Kristus dan istilah Trinitas atau Tritunggal.

Tidak hanya soal Trinitas, kaum Katar juga menolak sebagian besar ayat dalam Alkitab, yang menurut mereka diilhami oleh Setan. Gereja Katolik mereka lihat sebagai kemunafikan para pendeta dan akuisisi atas tanah dan kekayaan.

Menurut catatan World History Encyclopedia, satu-satunya kitab Perjanjian Baru yang mereka terima adalah Injil. Teks religius utama mereka adalah Kitab Dua Prinsip, bagian-bagian yang akan dibacakan oleh salah satu perfecti untuk jemaat.

Kaum Katar juga menolak simbol salib dan pembacaan literal dari buku-buku Alkitab mana pun. Mereka menganggap salib sebagai simbol Rex Mundi dan percaya salib itu harus dihancurkan saat ditemui karena merupakan representasi kejahatan.

Salib, menurut mereka, tidak lebih dari simbol kekuatan duniawi, dan semua sakramen gereja, termasuk baptisan bayi dan komuni, juga ditolak.

Doktrin Trinitas dalam Gereja Katolik sebenarnya tidak dikenal secara umum sebelum Konsili Nicea. (Public Domain)

Sementara kaum Katar yang tidak selibat mempraktikkan pengendalian kelahiran dan aborsi. Mereka meyakini bahwa seks adalah aspek alami dari kondisi manusia dan dapat dilakukan untuk kesenangan, tidak hanya untuk prokreasi.

Wanita dinilai setara dengan pria dan sosok wanita dalam Alkitab menjadi perhatian mereka, terutama Maria Magdalena dan Perawan Maria.

Pertumbuhan dan Organisasi Kaum KatarKaum Katar hidup dalam komunitas yang ukurannya bervariasi dari 60 hingga 600 orang. Mereka berbagi harta milik mereka dan merawat satu sama lain sebagai sebuah keluarga.

Iman memperoleh pijakan yang kuat di Italia dan Prancis Selatan melalui seruannya kepada kaum tani. Sejarawan Martin Erbstosser mencatat, bahwa kehidupan Kaum Katar yang sangat baik. Berbanding terbalik dengan tuduhan sesat dari Gereja Katolik Roma.

Perfecti dianggap menjalani kehidupan yang tidak bercacat, dan sangat ingin membantu orang lain, mereka mengilhami para pengikut yang setia.

Ajaran Katarisme tidak terbatas pada kaum tani untuk waktu yang lama, tetapi menyebar ke hierarki abad pertengahan hingga pengrajin seperti penenun dan pembuat tembikar.

Ajaran Katarisme juga menyebar hingga ke penulis dan penyair, pedagang dan pemilik bisnis, anggota pendeta Katolik, dan akhirnya bangsawan.

Eleanor dari Aquitaine (memerintah 1122-1204 M) dan putrinya Marie de Champagne ( memerintah 1145-1198 M) keduanya terkait dengan kaum Katar sebagai simpatisan.

Kaum Katar hanya mengenakan jubah gelap dengan tudung atau topi, berjalan tanpa alas kaki, dan para pria tidak mencukur janggutnya.

Mereka muncul dalam jumlah kecil dalam catatan dari tahun 1140-an di Prancis. Akan tetapi pada tahun 1167, ada cukup banyak komunitas di wilayah tersebut yang memerlukan majelis untuk menetapkan aturan dan batasan.

Perang Salib Albigensian adalah penghancuran budaya Prancis selatan dan genosida pada kaum Katar. (Public Domain)

Konsili Saint-Felix tahun 1167 mengorganisir komunitas Katar ke dalam keuskupan, masing-masing dengan seorang uskup ketua yang hanya bertanggung jawab kepada kawanannya sendiri.

Tidak ada otoritas pusat seperti Gereja Katolik Roma dalam ajaran Katarisme. Konsili tersebut dipimpin oleh seorang pendeta Bogomil bernama Nicetas (1160-an).

Ia dengan tegas menetapkan Bogomilisme sebagai sumber langsung dari ajaran Katarisme.

Untuk menjadi seorang Katar, seseorang cukup menyatakan keyakinannya dan menerima konsolamentum, berkat dan penyambutan iman melalui meletakkan tangannya.

Untuk menjadi salah satu perfecti, seseorang benar-benar meninggalkan keduniawian dan melewati masa penarikan diri dan pemurnian sebelum menjabat.

Pria dan wanita perfecti. Tidak ada kebaktian atau misa resmi seperti di Gereja Katolik, melainkan pertemuan informal yang tampaknya dilakukan di rumah-rumah penganut.

Di Prancis Selatan, di mana gereja tidak pernah memiliki pengaruh yang kuat, kaum Katar tinggal dan bekerja di antara komunitas yang lebih luas dan mengadakan pertemuan mereka tanpa rasa khawatir.

Di tempat lain, mereka harus lebih berhati-hati dan menyembunyikan keyakinan mereka.

Praktik ini, menurut beberapa sejarawan, melahirkan genre sastra paling populer di Abad Pertengahan: puisi cinta yang santun.

Namun demikian, Gereja Katolik Roma tidak senang dengan kaum Kataris yang dianggap orang Kristen sesat. Pada tahun 1208, Paus Innosensius II (memerintah 1198-1216) menyerukan perang sesama orang Kristen.

Perang inilah yang dalam sejarah Perang Salib dikenal dengan Perang Salib Albigensian. Bagi sejarawan, perang ini adalah penghancuran budaya Prancis selatan dan genosida kaum Katar.