Serapis, Dewa yang Lahir Perpaduan Agama Yunani dan Mesir Kuno

By Hanny Nur Fadhilah, Selasa, 8 Agustus 2023 | 11:00 WIB
Serapis adalah dewa perpaduan agama Yunani dan Mesir kuno. Memiliki kultus pemujaan, namun berakhir akibat munculnya agama Kristen pada abad ke-4 M. (Historyskills)

Nationalgeographic.co.id—Serapis adalah dewa yang lahir akibat perpaduan tradisi agama Yunani kuno dan Mesir kuno. Hal ini berfungsi sebagai simbol persatuan yang kuat di masa konvergensi budaya.

Kisah Serapis bukan hanya kisah satu dewa, tetapi refleksi dari konteks sejarah yang lebih luas di mana ia disembah, menawarkan wawasan yang tak ternilai tentang dinamika agama, politik, dan sosial pada zaman itu.

Dalam jajaran dewa-dewa, hanya sedikit dewa yang semenarik Serapis, dewa sinkretis Mesir Helenistik. 

Asal usul Serapis sangat terkait dengan transformasi politik dan budaya pada periode Helenistik. Setelah kematian Alexander Agung pada tahun 323 SM, kerajaannya yang luas terbagi di antara para jenderalnya, yang menyebabkan berdirinya beberapa kerajaan Helenistik.

Salah satunya adalah Kerajaan Ptolemeus di Mesir, yang diperintah oleh Ptolemeus I Soter dan keturunannya.

Para penguasa Ptolemeus, meskipun berasal dari Yunani, mengakui pentingnya berintegrasi dengan rakyat Mesir mereka untuk menjaga stabilitas dan kontrol.

Dalam konteks inilah Serapis, dewa yang memadukan unsur tradisi keagamaan Yunani dan Mesir diciptakan.

Serapis adalah dewa sinkretis, artinya ia dibentuk dengan menggabungkan aspek-aspek dewa yang berbeda.

Nama "Serapis" sendiri diperkirakan merupakan Hellenisasi dari "Osorapis" atau "Asar-Hapi" Mesir, yang menggabungkan nama dewa Mesir Osiris dan Apis. 

Osiris adalah dewa akhirat, kematian, dan kebangkitan, sedangkan Apis adalah dewa banteng suci yang terkait dengan kesuburan dan juga terkait dengan akhirat.

Dengan menggabungkan dua dewa ini, para penguasa Ptolemeus menciptakan dewa yang dapat menarik kepekaan agama Yunani dan Mesir.

Penciptaan Serapis bukan hanya tindakan keagamaan, tetapi juga tindakan politik. Dengan mempromosikan pemujaan dewa yang mewujudkan unsur-unsur Yunani dan Mesir, para penguasa Ptolemeus berharap untuk menyatukan rakyat mereka yang beragam dan melegitimasi pemerintahan mereka.

Strategi itu sangat berhasil. Serapis dengan cepat mendapatkan popularitas, tidak hanya di Mesir tetapi juga di seluruh dunia Helenistik, menjadi simbol perpaduan budaya yang menjadi ciri era ini. 

Ikonografi Serapis beragam dan kompleks seperti tradisi budaya asalnya. Penggambarannya mencerminkan perpaduan gaya artistik dan simbol agama Yunani dan Mesir, yang lebih jauh menekankan perannya sebagai jembatan antara kedua budaya ini.

Serapis sering digambarkan sebagai pria dewasa dengan janggut lebat, mengingatkan pada penggambaran Zeus, raja para dewa Yunani.

Dia biasanya ditampilkan mengenakan biji-bijian di kepalanya, melambangkan kelimpahan dan kesuburan. Atribut ini kemungkinan besar mengacu pada Osiris, dewa pertanian dan alam baka Mesir, salah satu dewa asal Serapis.

Serapis sering digambarkan dengan tongkat kerajaan atau tongkat, simbol otoritas dan kekuasaan. Dalam beberapa kasus, dia ditampilkan bersama Cerberus, anjing berkepala tiga yang menjaga dunia bawah dalam mitologi Yunani.

Asosiasi ini selanjutnya menghubungkan Serapis dengan akhirat, memperkuat hubungannya dengan Osiris dan perannya sebagai dewa orang mati. 

Penggambaran Mesir tentang Serapis, sering memasukkan unsur-unsur yang terkait dengan Apis, dewa banteng suci. Serapis terkadang ditampilkan dengan piringan matahari di antara tanduknya, atribut umum Apis. 

Dia juga dapat digambarkan sebagai banteng atau dengan banteng di dekatnya, menekankan hubungannya dengan dewa Mesir kuno ini.

Kultus Serapis

Kultus Serapis adalah aspek penting dari kehidupan religius di Mesir Helenistik dan Romawi. Hal ini memainkan peran penting dalam menyatukan populasi yang beragam di bawah kekuasaan Ptolemeus dan kemudian Romawi, berfungsi sebagai landasan bersama untuk praktik keagamaan Yunani dan Mesir.

Pusat utama kultus Serapis adalah Serapeum of Alexandria, sebuah kompleks kuil megah yang didedikasikan untuk dewa.

Serapeum bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pembelajaran dan budaya, bagian dari Perpustakaan Besar Alexandria.

Kemegahan Serapeum mencerminkan pentingnya Serapis dalam lanskap keagamaan pada masa itu, menarik para peminat dari semua lapisan masyarakat.

Ritual dan praktik yang terkait dengan kultus Serapis beragam seperti asal usul dewa. Mereka memasukkan unsur-unsur dari tradisi keagamaan Yunani dan Mesir, yang mencerminkan sifat sinkretis dewa.

Misalnya, kultus mengamati prosesi dan festival gaya Yunani, tetapi juga ritus Mesir yang terkait dengan kematian dan kebangkitan Osiris.

Para pendeta Serapis, yang dikenal sebagai "nabi Serapis", memainkan peran penting dalam ritual ini, melayani sebagai perantara antara pemuja dan dewa.

Kultus Serapis juga berdampak signifikan di luar Mesir. Ketika pengaruh Kerajaan Ptolemeus menyebar, begitu pula pemujaan terhadap Serapis, sampai ke Roma.

Faktanya, di bawah pemerintahan Romawi, kultus Serapis terus berkembang, dengan Kaisar Hadrian membangun kembali Serapeum dari Aleksandria setelah rusak dalam kebakaran.

Bagaimana memasukkan Serapis ke dalam mitologi Yunani?

Serapis adalah produk sinkretisme yang menggabungkan unsur-unsur dewa Mesir Osiris dan Apis. Penggambaran dan atributnya sangat dipengaruhi oleh dewa Yunani, khususnya Hades (dewa dunia bawah) dan Pluto (dewa kekayaan Yunani dan penguasa kekayaan bumi).

Hubungan ini semakin ditekankan dengan seringnya Cerberus, anjing berkepala tiga yang menjaga pintu masuk dunia bawah, dalam penggambaran Serapis.

Tautan ke Pluto menggarisbawahi sifat ganda Serapis sebagai dewa kemakmuran akhirat dan duniawi. Asosiasi Serapis dengan mitologi Yunani meluas ke perannya dalam panteon Yunani di Mesir.

Sambil mempertahankan identitasnya yang unik, Serapis sering disamakan dengan Zeus, Hades, dan Pluto dalam praktik keagamaan Yunani.

Integrasi ini memungkinkan penduduk Yunani di Mesir untuk terhubung dengan tradisi keagamaan lokal sambil mempertahankan identitas budaya mereka sendiri.

Serapis di bawah Romawi dan akhirnya mengalami kemunduran. Penyembahan Serapis tidak berakhir dengan berakhirnya era Ptolemeus. Sebaliknya, ia menemukan kehidupan baru dan terus berkembang di bawah kekuasaan Romawi. 

Bangsa Romawi, seperti Ptolemeus sebelum mereka, mengakui nilai sinkretisme budaya dan agama sebagai alat stabilitas politik.

Dengan demikian, mereka tidak hanya mentolerir tetapi secara aktif mempromosikan kultus Serapis, mengintegrasikannya ke dalam praktik keagamaan mereka sendiri.

Di bawah kekuasaan Romawi, Serapis sering disamakan dengan Yupiter (raja para dewa) dan Pluto (dewa dunia bawah). 

Hubungan dengan tokoh-tokoh kunci jajaran Romawi ini membantu memastikan relevansi dan popularitas Serapis yang berkelanjutan di antara penduduk Romawi.

Bangsa Romawi juga mengadopsi praktik Yunani yang menghubungkan Serapis dengan penyembuhan, yang mengarah pada pemujaannya dalam kultus penyembuhan Romawi.

Serapeum Aleksandria, kuil utama Serapis, terus menjadi pusat agama dan budaya yang penting di bawah kekuasaan Romawi.

Ketika Serapeum asli rusak oleh api pada akhir abad ke-1 M, Kaisar Romawi Hadrianlah yang memerintahkan rekonstruksinya, menggarisbawahi pentingnya Serapis dalam lanskap keagamaan Romawi.

Namun, kultus Serapis juga menghadapi tantangan selama periode ini. Munculnya agama Kristen pada abad ke-4 M menyebabkan meningkatnya ketegangan antara kaum pagan dan Kristen. 

Hal ini memuncak dengan penghancuran Serapeum dari Aleksandria pada tahun 391 M oleh segerombolan fanatik Kristen, menandai akhir dari kuil dan pukulan yang signifikan terhadap kultus Serapis.