Perjanjian Giyanti dan Terbelahnya Mataram dalam Sejarah VOC

By Galih Pranata, Selasa, 8 Agustus 2023 | 17:32 WIB
Situs Perjanjian Giyanti, menurut catatan sejarah VOC mengakibatkan terbelahnya Mataram menjadi dua bagian, Surakarta dan Yogyakarta. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Gubernur Nicholaas Hartingh, dalam sejarah VOC tercatat tengah mengalami sejumlah kesibukan di sekitar tahun 1750-an, saat ia mulai bolak-balik di antara Semarang, Surakarta dan Yogyakarta.

Tatkala di tahun 1755 ia kembali ke Surakarta, Hartingh telah menemukan kraton sedang dalam kondisi yang tidak harmonis dan mengalami sejumlah kehancuran akibat pemberontakan dan perang.

"Salah satu babad berbahasa Jawa bertutur tentang tindak manipulatif Hartingh yang sebenarnya memainkan peranannya sebagai dalang yang memainkan wayang-wayang Jawa-nya," tulis Merle Calvin Ricklefs.

Ricklefs mengungkap tentang penuturan babad akan adanya permainan politik yang dimainkan Hartingh dalam bukunya yang berjudul Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 yang diterjemahkan dan diterbitkan pada 2002.

Lebih dari sekadar seorang dalang Jawa, dalam sejarah VOC, Hartingh tercatat telah membuat boneka-bonekanya hidup, memainkan dan menggerakan mereka ke arah tujuan politiknya: mengintervensi kraton.

Sebuah peranan yang luar biasa yang belum pernah dimainkan orang Eropa manapun sampai-sampai sebuah babad Jawa telah mengulasnya.

Dia dianggap dalang yang berjasa meredam dan mengakhiri perang di antara Surakarta dan Yogyakarta yang tengah berseteru. Ia mengalihkan peperangan menjadi pesan damai lewat sebuah perjanjian di tahun 1755.

"Hartingh tidak pernah mengarang siapa saja lakonnya, dan tidak juga menulis skenarionya, tapi dia berlaku sebagaimana dalang memainkan wayang-wayangnya," imbuhnya.

Alas batu suci di Desa Jatinharjo, Karanganyar, Jawa Tengah, tempat ditanda tanganinya Perjanjian Giyanti yang melibatkan sejarah VOC di Jawa. (Moh. Yudik Al Faruq)

Tidak sendirian, Hartingh bersama dengan Belanda lainnya, Jacob Mossel, berupaya menempuh cara-cara manipulatif untuk meredam peperangan lewat diplomasi dan negoisasi dengan kedua belah pihak.

Pakubuwana II dan III yang kala itu telah mengalami sejumlah pemberontakan, dipaksa oleh Hartingh agar memberikan setengah dari wilayah kekuasaannya kepada para pemberontak, tidaklah lain adalah rivalnya, Mangkubumi beserta dengan Pangeran Sambernyawa, Raden Mas Said.

"Hartingh menegaskan jika Pakubuwana mau bernegoisasi dan memberi sebagian kekuasaannya, maka tidak akan ada penggulingan Susuhunan dalam kraton," jelasnya.

Pakubuwana III telah membayangkan dan merenungi akan permintaan dari Hartingh, di mana ia lebih memikirkan untuk berbagi rénte (uang pendapatan sewa) dengan Mangkubumi daripada kehilangan sama sekali—sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya.

Pada tanggal 9 Februari 1755, Nicholaas Hartingh telah tiba di kaki gunung Lawu, tepatnya di Desa Giyanti. Kini gilirannya bertemu dengan Mangkubumi yang telah mendirikan istana sementaranya di sana. 

Hartingh mengunjungi secara pribadi ke kediaman Mangkubumi dengan hanya didampingi Kartabasa (Ki Bestam) sebagai penerjemah.

Ia telah menjelaskan niat Pakubuwana III untuk menyerahkan kekuasaannya dengan mengikat suatu perjanjian damai. Hartingh meminta kesediaan Mangkubumi untuk menyetujuinya.

Setelah terlibat atas kesepakatan-kesepakatan, Mangkubumi dan Pakubuwana telah saling sepakat untuk mengikat sebuah perjanjian di Desa Giyanti (sekarang Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah) dalam Perjanjian Giyanti.

Pak Wahab, juru kunci situs Perjanjian Giyanti, tengah mendeskripsikan histori situs yang dirawat oleh kakeknya kepada penulis. (Moh. Yudik Al Faruq)

Menilik lokasi dilakukannya perjanjian bersejarah dalam salah satu sejarah VOC di Jawa, saya telah menjumpa Pak Wahab. Ia merupakan cucu dari abdi dalem kraton Ngayogyakarta yang menjadi juru kunci dari situs Perjanjian Giyanti.

Sembari membersihkan pagar tembok berwarna putih yang melingkari sebuah pohon besar dengan batu sakral di dalamnya, Pak Wahab mulai mencerita pengalamannya:

"Simbah (kakek) saya dulunya menjadi bagian dari (abdi dalemkraton Yogyakarta, dan pernah bercerita tentang situs ini yang memisahkan Kota Surakarta dan Yogyakarta," tuturnya kepada National Geographic Indonesia.

Bersama Moh. Yudik Al Faruq, seorang dosen Universitas Negeri Semarang yang menemani langkah saya, ia mulai mengambil gambar situs yang bersejarah itu. Terlihat sebongkah batu menyerupai meja di antara rindangnya pohon beringin besar.

"Kata simbah, tempat ini (dahulu bernama Desa Giyanti) adalah Sukowati (kota suci) Yogyakarta, di mana sejak lama, batu itu digunakan sebagai alas pertapaan Prabu Brawijaya V dari Majapahit," sambung pak Wahab.

Lantas, Mangkubumi telah merencanakan perundingan bersejarah yang memecah Mataram ini dilakukan di situs Giyanti. Tepat "di atas batu itu (bekas pertapaan Brawijaya V), naskah Perjanjian Giyanti ditandatangani," pungkasnya.

Tertulis dalam sejarah pada 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti dilaksanakan. Terbelahnya Mataram ke dalam dua wilayah: Surakarta dan Yogyakarta, telah dicatat dalam sejarah VOC yang mengambil peran akan adanya perpecahan ini.

Dalam catatan sejarah VOC, Hartingh telah memaksa keduanya dengan caranya, mendamaikan sejumlah perang dan pemberontakan yang terjadi selama beberapa tahun sebelumnya.

Berkat peran Kompeni di keraton, Hartingh dan sejumlah Belanda yang terlibat di dalam perpecahan ini membuat sejarah baru di Jawa kala itu, di mana pembagian kekuasaan ditempuh secara damai dengan formal dan presisi.

Perannya mengubah paradigma pembagian wilayah yang selalu ditempuh dengan cara-cara radikal: perang dan sejumlah pemberontakan. 

Tentu, peran kompeni-kompeni dalam sejarah VOC di keraton Mataram (baik Surakarta maupun Yogyakarta) sangat menentukan, berkat adanya legitmasi hak-hak yang didapat oleh Belanda selama berkoloni di Jawa.

Hal itu dapat tercapai dengan terbelahnya Mataram dan terciptanya kelanggengan kekerabatan dengan para pemimpin Jawa. Lebih-lebih antara Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I di kemudian hari.