Bergerak ke Bumi Lestari: Kisah 15 Perempuan di Balik 750 Bank Sampah

By Utomo Priyambodo, Senin, 14 Agustus 2023 | 14:00 WIB
Fei Febri, CEO Bank Sampah Bersinar, sedang berada gudang pengumpulan dan pemilahan lebih lanjut sampah sebelum sampah-sampah itu dibawa ke industri daur ulang. (Ricky Martin)

“Saya juga sering terima [setoran sampah] dari warga Antapani, dari Dago, dari Pasteur,” tutur Rani.

Para penyetor sampah ke Waste Station Kamandaka ini kemudian bisa menukarkan sampahnya menjadi uang elektronik yang bisa mereka belanjakan untuk berbagai keperluan. “Memang harganya tidak seberapa, tapi menarik,” kata Rani.

Vicky Lim, Regional Project Manager Rekosistem, mengatakan bahwa Waste Station Kamandaka kini telah menerima dan mengelola 2.645 kilogram sampah per bulannya. Vicky juga mengatakan bahwa Rekosistem kini telah memiliki 23 waste station yang tersebar di kota-kota besar di Pulau Jawa.

Meski keberadaan bank sampah atau waste station mulai menjadi tren di Indonesia, jumlahnya saat ini masih jauh dari cukup. Hal itu terlihat dengan adanya warga Dago di Kota Bandung rela pergi jauh ke Kota Baru Parahyangan di Kabupaten Bandung Barat untuk menyetorkan sampahnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat pada 2023 ada 25.540 bank sampah yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka itu masih terlalu sedikit jika dibandingkan luas wilayah Indonesia yang terdiri atas 81.616 desa dan lebih dari 1 juta rukun tetanngga, serta dihuni oleh 278,69 juta jiwa.

Pertanyaan besar yang dibawa oleh para penggerak bank sampah atau waste station ini adalah: Mau berapa banyak dan berapa tinggi lagi gunung sampah yang akan kita bentuk di berbagai TPA di Indonesia?

Waste Station Kamandaka di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat. Dibiayai oleh Toyota dan dikelola oleh Rekosistem. (Ricky Martin)

Pada 21 Februari 2015, 157 orang tewas tertimbun sampah akibat meledaknya TPA Leuwigajah di Kota Cimahi. Tragedi ini dipicu oleh menumpuknya sampah dalam keadaan tercampur sehingga membentuk gunungan sampah setinggi 60 meter dan panjang 200 meter.

Tentu kita tak mau tragedi itu terulang kembali.

Kalaupun tak ledakan itu terjadi, tumpukan sampah di TPA tetap akan menghasilkan gas metana yang bau dan terlepas ke atmosfer. Gas rumah kaca inilah yang turut mempercepat laju pemanasan global dan perubahan iklim.

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, sepanjang tahun 2022 penduduk Indonesia telah menghasilkan 19,45 juta ton sampah. Mayoritas jenisnya adalah sisa makanan.

KLHK pernah mencatat, setiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kilogram gas metana. Jadi, jika timbulan sampah itu tak diolah dan hanya dibiarkan menumpuk di TPA, sekitar 972.500 ton gas metana telah terbentuk akibat sampah yang dihasilkan Indonesia selama 2022.

Bisa dibayakan betapa besarnya andil penduduk Indonesia dalam meningkatkan laju perubahan iklim? Akibat dari perubahan iklim ini, cuaca ekstrem dan bencana alam pun jadi makin sering terjadi.

Jadi, penumpukan sampah di TPA seperti itulah yang hendak dicegah oleh pihak-pihak baik seperti Bank Sampah Bersinar maupun Rekosistem.

“Kenapa Bank Sampah Bersinar fokus pada pemilahan? Supaya sampah organik yang menghasilkan gas metan tersebut, itu bisa diubah dari yang biasanya merugikan lingkungan, justru bagaimana supaya sampah organik ini bisa memberikan manfaat buat lingkungan,” kata Fei.

Solusi paling mudah dan tanpa biaya, sampah organik bisa langsung dimanfaatkan untuk menjadi pupuk kompos atau pupuk organik. “Dari tanah kembali ke tanah,” tegas Fei.

Jika permasalahan sampah organik ini beres, menurut Fei, penanganan sampah secara keseluruhan akan lebih mudah. Sebab, sebagian besar komposisi sampah di Indonesia adalah sampah organik (60%). Jenis sampah ini pulalah yang sering kali hendak banyak orang singkirkan sesegera mungkin dari rumah mereka ke TPA karena menghasilkan aroma tidak sedap.

Adapun permasalahan sampah anorganik akan lebih mudah ditangani. Sebab, sampah jenis ini cenderung bisa ditukar menjadi uang karena sudah banyak industri daur ulangnya. Para pemulung pun akan sukarela mengambilnya.

“Sisanya hanya residu [sampah]. Mungkin hanya sedikit ya, hanya 20%. Ada teknologi waste to energy, mungkin pemerintah yang akan melakukan,” harap Fei.