Bergerak ke Bumi Lestari: Kisah 15 Perempuan di Balik 750 Bank Sampah

By Utomo Priyambodo, Senin, 14 Agustus 2023 | 14:00 WIB
Fei Febri, CEO Bank Sampah Bersinar, sedang berada gudang pengumpulan dan pemilahan lebih lanjut sampah sebelum sampah-sampah itu dibawa ke industri daur ulang. (Ricky Martin)

Nationalgeographic.co.id—Apa dampak kepadatan populasi manusia terhadap lingkungan dan apa solusi yang bisa kita tawarkan? Demi mendapatkan perspektif baru guna menjawab pertanyaan tersebut, tim National Geographic Indonesia melakukan sebuah perjalanan lestari.

Pada pertengahan tahun 2023 ini, tim National Geographic Indonesia mengunjungi tiga kota/kabupaten besar dan padat penduduk di Indonesia. Hasilnya, tim berhasil menghimpun cerita-cerita inspiratif mengenai upaya menjaga kelestarian Bumi yang terangkum dalam kumpulan cerita bertajuk Bergerak ke Bumi Lestari.

Pertanyaan yang dikemukakan dalam perjalanan ini berakar dari pertambahan populasi manusia. Pada akhir tahun lalu, persisnya 15 November 2022, populasi manusia di Bumi telah genap mencapai delapan miliar. Seorang bayi perempuan yang lahir di Manila, Filipina, tercatat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai penduduk ke-8 miliar Bumi.

Penduduk Indonesia juga makin bertambah. Presiden Jokowi pernah memperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 300 juta jiwa pada tahun 2030. Tentu saja, besaran itu bukan angka semata bagi kehidupan manusia.

Setiap lonjakan populasi global maupun nasional tentu berdampak terhadap kesehatan planet ini. Pertumbuhan populasi dan meningkatnya angka harapan hidup akan menimbulkan berbagai dampak, termasuk kelangkaan sumber daya.

Seorang ekonom dan pakar kependudukan asal Inggris, Thomas Robert Malthus (1766-1834), pernah berkata, "Kekuatan populasi jauh lebih besar daripada kekuatan Bumi untuk menghasilkan penghidupan bagi manusia.”

Hal itu tampak benar adanya. Berbagai bentang alam di Bumi kini telah dieksploitasi oleh umat manusia demi mendapatkan berbagai sumber daya alam. Kegiatan eksploitasi dan, pada akhirnya, konsumsi sumber daya tersebut turut berdampak pada penurunan kualitas lingkungan.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk kembali meningkatkan kualitas lingkungan atau setidaknya tak memperburuknya lagi? Di Bandung, tim National Geographic Indonesia memperoleh cerita inspiratif dari para penggerak Bank Sampah Bersinar.

“Bank Sampah Bersinar adalah sebuah wadah atau tempat untuk kami melakukan edukasi kepada masyarakat bagaimana cara mengolah sampah mereka dari sumber,” kata Febriyanti SR, CEO Bank Sampah Bersinar, saat ditemui Juni lalu.

“Selain itu kita juga memberikan fasilitas agar masyarakat bisa mengumpulkan sampahnya,” tutur Fei Febri lagi, sapaan Febriyanti SR. Fasilitas itu adalah berupa bank sampah unit. Jadi, di bank sampah unit, masyarakat bisa menyetorkan sampah-sampah yang mereka hasilkan atau temukan dan telah mereka pilah.

Setoran sampah terpilah ini kemudian bisa mereka tukar menjadi uang dalam bentuk tabungan. “Setiap sampah yang kita kumpulkan di sini ada harganya,” ujar Maria Michaella Karina, Staf Program Development Bank Sampah Bersinar.

Saat ini Bank Sampah Bersinar telah memiliki ratusan bank sampah unit yang tersebar di tujuh kota/kabupaten. Ketujuh kota/kabupaten itu mencakup Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat) serta Kabupaten Tangerang, Kabupaten Toba, dan Kota Sorong, persisnya di Pulau Doom.

“Jadi Bank Sampah Bersinar sudah memiliki lebih dari 750 bank sampah unit dengan 80.000 keluarga yang bergabung dalam program ini. Mereka memilah sampah dari sumber dan mengirimkannya ke bank sampah unit yang terdekat,” jelas Fei.

“Setiap bulannya kami mengelola lebih dari 100 ton sampah dan kami berharap bisa berkembang terus di seluruh Indonesia dan menjadi salah satu solusi dari permasalahan sampah di Indonesia,” lanjutnya lagi.

Sampah-sampah yang bisa masyarakat setorkan merupakan sampah anorganik berupa plastik, kertas, kaca, dan logam. Bank Sampah Bersinar kemudian mengirim kumpulan sampah terpilah itu ke pabrik-pabrik daur ulang yang telah menjadi rekanan mereka.

Selain mengedukasi masyarakat untuk terbiasa memilah sampah organik dan anorganik, Bank Sampah Bersinar juga giat memberi edukasi kepada warga cara mengolah sampah organik rumah tangga mereka. Mulai dari mengolah sampah organik dari sisa makanan menjadi pupuk hingga sisa minyak jelantah menjadi sabun.

“Di sisi lain kami membangun inovasi-inovasi untuk pengelolaan sampah, khususnya untuk sampah-sampah yang mungkin belum diterima di industri. Salah satu yang mungkin jadi keunggulan dari kami adalah pengelolaan sampah popok bayi,” tambah Fei.

Lebih dari itu, Bank Sampah Bersinar juga menyediakan jasa penjemputan dan penanganan sampah organik dan anorganik untuk individu maupun perusahaan dengan biaya layanan yang disepakati. Sampah yang secara rutin dijemput ini nantinya akan dipilah lebih lanjut dan diolah agar tak sekadar berakhir ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Yang menarik di balik Bank Sampah Bersinar ini, semua staf kantornya ternyata merupakan perempuan yang masih muda. Jumlah staf kantornya kini ada 15 orang, termasuk Fei dan Michailla. Mereka inilah otak penggerak Bank Sampah Bersinar.

Tentu saja gerakan mereka ini tak akan berjalan tanpa dukungan para pekerja laki-laki di luar kantor. Mulai di bidang pengangkutan dan pengantaran sampah, hingga penanganan dan pemilahan sampah di gudang sampah mereka.

Proses pengumpulan dan pemilahan lebih lanjut sampah dari berbagai bank sampah unit di gudang sampah pusat Bank Sampah Bersinar. (Ricky Martin)

Berbeda dengan tahun 2014 ketika Bank Sampah Bersinar mulai berdiri, saat ini solusi berupa bank sampah sudah mulai banyak ditawarkan oleh berbagai pihak. Bank sampah, atau yang kadang disebut juga waste station, kini telah menjadi tren inovasi di banyak tempat di Indonesia.

Di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, misalnya, juga terdapat sebuah waste station yang bernama Waste Station Kamandaka. Waste station ini dibiayai oleh Totoya dan dikelola oleh Rekosistem, perusahaan rintisan teknologi iklim yang menawarkan layanan pengelolaan dan daur ulang sampah seperti Bank Sampah Bersinar.

Rani Sulastri, staf administrasi Waste Station Kamandaka, menjelaskan jenis sampah yang bisa diterima di sini adalah plastik, kertas, kaca, logam, minyak jelantah, dan sampah elektronik. Dia mengatakan awalnya keberadaan waste station ini kurang dilirik oleh warga Kota Baru Parahyangan, tetapi kini sudah mulai banyak warga yang memilah dan mengumpulkan sampahnya untuk dibawa ke sana.

“Saya juga sering terima [setoran sampah] dari warga Antapani, dari Dago, dari Pasteur,” tutur Rani.

Para penyetor sampah ke Waste Station Kamandaka ini kemudian bisa menukarkan sampahnya menjadi uang elektronik yang bisa mereka belanjakan untuk berbagai keperluan. “Memang harganya tidak seberapa, tapi menarik,” kata Rani.

Vicky Lim, Regional Project Manager Rekosistem, mengatakan bahwa Waste Station Kamandaka kini telah menerima dan mengelola 2.645 kilogram sampah per bulannya. Vicky juga mengatakan bahwa Rekosistem kini telah memiliki 23 waste station yang tersebar di kota-kota besar di Pulau Jawa.

Meski keberadaan bank sampah atau waste station mulai menjadi tren di Indonesia, jumlahnya saat ini masih jauh dari cukup. Hal itu terlihat dengan adanya warga Dago di Kota Bandung rela pergi jauh ke Kota Baru Parahyangan di Kabupaten Bandung Barat untuk menyetorkan sampahnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat pada 2023 ada 25.540 bank sampah yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka itu masih terlalu sedikit jika dibandingkan luas wilayah Indonesia yang terdiri atas 81.616 desa dan lebih dari 1 juta rukun tetanngga, serta dihuni oleh 278,69 juta jiwa.

Pertanyaan besar yang dibawa oleh para penggerak bank sampah atau waste station ini adalah: Mau berapa banyak dan berapa tinggi lagi gunung sampah yang akan kita bentuk di berbagai TPA di Indonesia?

Waste Station Kamandaka di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat. Dibiayai oleh Toyota dan dikelola oleh Rekosistem. (Ricky Martin)

Pada 21 Februari 2015, 157 orang tewas tertimbun sampah akibat meledaknya TPA Leuwigajah di Kota Cimahi. Tragedi ini dipicu oleh menumpuknya sampah dalam keadaan tercampur sehingga membentuk gunungan sampah setinggi 60 meter dan panjang 200 meter.

Tentu kita tak mau tragedi itu terulang kembali.

Kalaupun tak ledakan itu terjadi, tumpukan sampah di TPA tetap akan menghasilkan gas metana yang bau dan terlepas ke atmosfer. Gas rumah kaca inilah yang turut mempercepat laju pemanasan global dan perubahan iklim.

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, sepanjang tahun 2022 penduduk Indonesia telah menghasilkan 19,45 juta ton sampah. Mayoritas jenisnya adalah sisa makanan.

KLHK pernah mencatat, setiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kilogram gas metana. Jadi, jika timbulan sampah itu tak diolah dan hanya dibiarkan menumpuk di TPA, sekitar 972.500 ton gas metana telah terbentuk akibat sampah yang dihasilkan Indonesia selama 2022.

Bisa dibayakan betapa besarnya andil penduduk Indonesia dalam meningkatkan laju perubahan iklim? Akibat dari perubahan iklim ini, cuaca ekstrem dan bencana alam pun jadi makin sering terjadi.

Jadi, penumpukan sampah di TPA seperti itulah yang hendak dicegah oleh pihak-pihak baik seperti Bank Sampah Bersinar maupun Rekosistem.

“Kenapa Bank Sampah Bersinar fokus pada pemilahan? Supaya sampah organik yang menghasilkan gas metan tersebut, itu bisa diubah dari yang biasanya merugikan lingkungan, justru bagaimana supaya sampah organik ini bisa memberikan manfaat buat lingkungan,” kata Fei.

Solusi paling mudah dan tanpa biaya, sampah organik bisa langsung dimanfaatkan untuk menjadi pupuk kompos atau pupuk organik. “Dari tanah kembali ke tanah,” tegas Fei.

Jika permasalahan sampah organik ini beres, menurut Fei, penanganan sampah secara keseluruhan akan lebih mudah. Sebab, sebagian besar komposisi sampah di Indonesia adalah sampah organik (60%). Jenis sampah ini pulalah yang sering kali hendak banyak orang singkirkan sesegera mungkin dari rumah mereka ke TPA karena menghasilkan aroma tidak sedap.

Adapun permasalahan sampah anorganik akan lebih mudah ditangani. Sebab, sampah jenis ini cenderung bisa ditukar menjadi uang karena sudah banyak industri daur ulangnya. Para pemulung pun akan sukarela mengambilnya.

“Sisanya hanya residu [sampah]. Mungkin hanya sedikit ya, hanya 20%. Ada teknologi waste to energy, mungkin pemerintah yang akan melakukan,” harap Fei.