Bergerak ke Bumi Lestari: Merawat Laut, Mengubah Kebiasaan di Darat

By Utomo Priyambodo, Rabu, 16 Agustus 2023 | 07:00 WIB
Divers Clean Action menggelar aksi pungut sampah di pesisir Pulau Rambut, Kepulauan Seribu. 'Sehari Menjadi Ranger di Pulau Rambut' adalah tajuk aksinya hari itu. (Toto Santiko Budi)

Nationalgeographic.co.id—Perjalanan dalam tajuk Bergerak ke Bumi Lestari akhirnya bermuara ke Jakarta. Di ibu kota Indonesia ini, tim National Geographic Indonesia bertemu dengan para penggiat Divers Clean Action (DCA).

Seperti yang tersirat dari nama komunitas itu, kali ini yang menjadi sorotan adalah laut. Area bermain para penyelam. Muara dari semua sampah sungai. Tempat sebagian sampah darat juga berakhir karena terseret aliran air hujan maupun tiupan angin.

DCA berawal dari kegelisahan seorang perempuan muda bernama Swietenia Puspa Lestari. Perempuan kelahiran Desember 1994 itu adalah seorang penyelam asal Pulau Pramuka—salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Setiap menyelam, Tenia kerap menemukan sampah di area pantai dan laut yang ia selami. Semakin beranjak dewasa, ia semakin memahami bahwa sampah merusak lautan dan makhluk hidup di dalamnya.

Pergerakan Tenia bermula saat ia masih berkuliah di jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung. Dari pendidikan yang ia enyam, ia jadi makin paham betapa gawatnya isu lingkungan di laut Indonesia.

“Waktu aku kuliah Teknik Lingkungan, aku menemukan banyak gap di lapangan. Kemudian gap itu aku review. Aku menemukan gap di tempat-tempat yang aku diving-in, dari mulai fasilitasnya enggak ada, orang-orang buang sampah sembarangan,” kenang Tenia.

“Dari situ aku mencoba menangkap apa yang terjadi di lapangan dengan ilmu yang aku pelajari di bangku kuliah. Itu yang pada akhirnya mendasari kenapa aku membentuk DCA, di samping karena tahun itu ada berita dari jurnal penelitian yang menyebut bahwa Indonesia penyumbang sampah terbesar kedua.”

Penelitian yang dimaksud Tenia adalah riset yang digarap oleh Jenna Jambeck, peneliti dari University of Georgia. Pada Februari 2015 makalah riset yang digarap Jambeck itu tersebit jurnal Science.

Makalah riset itu menobatkan Indonesia sebagai negara penyumbang terbesar kedua sampah plastik ke laut dunia. Riset tersebut mengestimasi jumlah sampah plastik dari Indonesia yang masuk laut adalah sebesar 0,48-1,29 juta metrik ton per tahun.

Pada November 2015 Tenia mengajak teman-temannya sesama penyelam membentuk komunitas DCA. Berbekal misi untuk merawat lautan, komunitas itu kini telah menjadi Yayasan Penyelam Lestari Indonesia yang relawannya tersebar di berbagai provinsi di Indonesia.

“Aku memulai divers connection itu pada 2015 bulan November. Waktu itu aku masih mengumpulkan tim. Lalu Februari 2016, kami memulai kegiatan perdana sebagai komunitas,” tutur Tenia.

"Tadinya kita fun diving mulanya," ujar Tenia. "Lalu kami melakukan pembersian sampah, community develompent, dan bekerja sama dengan perusahaan."

Swietenia Puspa Lestari, pendiri sekaligus Executive Director Divers Clean Action. (Swietenia Puspa Lestari/Divers Clean Action)

Terkait program kerja sama dengan perusahaan, Program Manager DCA Agung Ramos Febrian menceritakan salah satunya secara lebih detail. Salah satu pengalaman DCA paling menarik, menurut Agung, adalah saat DCA mengumpulkan sampah sedotan plastik yang ada di pantai Jakarta.

“Waktu itu karena kita suka cleanup [bersih-bersih] di pantai, terus kita nemuin sampah sedotan banyak banget dalam sekali cleanup.  Bisa sampai 200-300 piece. Dari situ kita kalkulasikan timbulan sampah sedotan di Indonesia berapa banyak dan hasilnya cukup besar,” tutur Agung.

DCA kemudian menemui salah satu perusahaan besar yang menaungi ratusan restoran ayam goreng di Indonesia. DCA menemui pihak perusahaan dengan membawa data sampah sedotan plastik tersebut.

Berdasarkan data yang mereka kumpulkan, DCA memperkirakan bahwa pemakaian sedotan di Indonesia setiap harinya mencapai 93.244.847 batang. Sedotan ini berasal dari restoran, minuman kemasan dan sumber lainnya (packed straw).

Panjang total 93.244.857 sedotan tersebut dapat disetarakan dengan 16.784 kilometer atau sama dengan dengan jarak yang ditempuh dari Jakarta ke Mexico City. Atau jika dihitung per minggu, pemakaian sedotan mencapai 117.449 kilometer yang artinya setara dengan 3 kali keliling bumi.

“Waktu itu kami punya ide, setiap restoran ayam pasti ada dispenser sedotan. Waktu itu kami bilang, ‘Ayo, ini kami nemu banyak sampah sedotan di pantai. Mau nggak bikin program bareng mulai dari ngurangin sedotan di restorannya?’” kenang Agung.

Gayung pun bersambut. Ajakan itu dipenuhi oleh pihak perusahaan.

Pada 9 Mei 2017, bersamaan dengan perayaan Hari Terumbu Karang Internasional yang dirayakan setiap 8 Mei, perusahaan besar tersebut mencanangkan gerakan pengurangan penggunaan sedotan plastik sekali pakai melalui gerakan #Nostrawmovement. Mereka menyebut gerakan ini sebagai tanggung jawab sosial serta komitmen kepedulian perusahaan terhadap lingkungan.

Melalui gerakan #Nostrawmovement pihak perusahaan mengajak konsumen untuk turut peduli kepada keselamatan laut dan kehidupannya dengan menolak sedotan plastik sekali pakai saat memesan minuman di restoran mereka atau di mana pun. Perusahaan juga mulai berhenti menyediakan dispenser sedotan.

Perusahaan juga mengatakan akan mengadakan aksi membersihkan sampah di bawah laut dan pantai di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Pulau Pramuka dipilih karena merupakan lokasi bermuaranya sampah yang berasal dari Jakarta.

“Restoran yang lain kemudian ikutan. Ikutan jadi nggak ada dispenser sedotannya,” tutur Agung.

“Seru juga sih, cuma megang satu restoran ayam, tapi dampaknya cukup besar. Mereka kan punya 600 gerai,” Agung berseru senang. “Karena kami megang satu brand yang besar, yang lain jadi ikut-ikutan.”

Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media #SayaPilihBumi #SisirPesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.

Salah satu komunitas yang terlibat dalam gerakan #BijakBerplastik ialah Divers Clean Action (DCA) yang berdiri pada November 2015. (dok. Swietenia/DCA)

Agung memaparkan saat ini DCA telah memiliki empat pilar program: Marine Debris Research, Campaign & Workshop, Community Development, serta CSR & EPR Facilitator.

“Kalau cuma mulung [sampah] doang kan nggak akan selesai masalahnya. Jadi harus ditambah dengan edukasi dan sebagainya,” ujar Agung.

Dia juga menekankan pentingnya perubahan perilaku manusia di darat untuk mengurangi pembuangan sampah ke laut. Sebab, sebagian besar sampah di laut merupakan sampah yang berasal dari darat.

Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL) pernah menegaskan bahwa 80% sampah di laut Indonesia berasal dari daratan. Selain itu, mereka juga menyampaikan bahwa jenis sampah terbanyak di laut Indonesia adalah sampah plastik (30%).

Jadi, Agung menegaskan, sangat penting mendorong masyarakat di daratan untuk mengubah perilaku mereka. Menghindari atau mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan produk berkemasan adalah salah satu contohnya.