Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Jepang mengukir sejarah karya sastra Jepang tidak dalam hitungan hari. Karya novelis ratusan tahun lalu mampu memberi pengaruh genre sastra Jepang sepanjang masa. Tak heran jika saat ini Jepang menjadi negara yang memproduksi manga terbanyak di dunia. Dalam setahun lima ratus juta manga terjual di Jepang. Manga menjadi genre sastra yang diminati masyarakat Jepang saat ini.
Lalu bagaimana dengan genre sastra Jepang di zaman Edo kala Jepang baru mengenal mesin percetakan?
Para ahli sejarah umumnya menggunakan istilah modern awal untuk menggambarkan periode Edo Kekaisaran Jepang. Pada masa itu sastra urban Kekaisaran Jepang berkembang pesat.
Kelas menengah kekaisaran Jepang yang terdiri dari samurai, petani, pengrajin dan pedagang mulai mengambil bagian aktif dalam semua bidang pembangunan negara. Termasuk sastra Jepang yang muncul sebagai bentuk seni. Tidak hanya dinikmati oleh kalangan bangsawan, tetapi telah menjadi hobi favorit warga.
Ihara Saikaku (1642-1693) seorang novelis Kekaisaran Jepang berhasil menciptakan sejarah genre sastra Jepang yang populer pada abad ke-17. Genre sastra ukiyo-zoshi merupakan karya sastra hiburan yang sangat diminati masyarakat Jepang kala itu.
Ukiyo awalnya adalah konsep Buddhis yang mengacu pada sifat sementara keberadaan manusia. Akan tetapi pada abad ke-17, kata itu berarti kesenangan atau hiburan manusia yang bersifat sementara.
Jika sebelumnya sastra Jepang cenderung hanya menceritakan kembali kisah-kisah klasik. Berbeda dengan karya Saikaku yang menggambarkan kehidupan kontemporer dengan cara yang baru. Cerita yang disajikan menghibur dan humoris.
Istrinya meninggal ketika Ihara Saikaku berusia 33 tahun, meninggalkan Saikaku dengan tiga anak termasuk seorang putri yang buta. Kematian istri tercintanya berdampak sangat besar pada dirinya.
Beberapa hari setelah kematiannya, dalam kesedihan cinta sejati, Saikaku mulai menulis selama dua belas jam. Ini adalah pertama kalinya Saikaku mencoba membuat karya sastra yang begitu panjang.
Kematian istrinya mengilhaminya untuk menciptakan salah satu karya paling pribadinya Dokugin ichinichi senku Seribu Ayat Disusun Sendirian dalam Satu Hari di tahun 1675.
Setelah kematian istrinya, dia menyerahkan pengelolaan bisnis keluarga kepada seorang pengurus dan mengabdikan dirinya untuk bepergian dan menulis.
Pada tahun 1682, Saikaku menulis kumpulan cerita fiksi berjudul Koshoku ichidai otoko Pria yang Mencintai Cinta. Karya ini terjual habis dengan cepat. Hak atas buku tersebut kemudian dijual ke penerbit lain untuk diproduksi lagi. Setelah mengeluarkan tiga edisi di tahun 1684, sebuah penerbit di Edo mengeluarkan edisi dengan gambar lebih elegan. Dilansir dari World History, Paul Schalow mengungkap, "Buku ini mengubah karier Saikaku dan sejarah sastra Jepang."
Kesuksesan buku ini, terus membawa Saikaku mengabdikan sisa hidupnya untuk menulis karya dengan gaya serupa.
Ilustrasi merupakan elemen penting dalam ukiyo-zoshi, tidak hanya menghibur para pembaca kontemporer tetapi juga memberikan gambaran sejarah budaya Jepang abad ke-17. Beberapa buku Saikaku diilustrasikan oleh Hishikawa Moronobu (1618–1694) salah satu seniman paling terkenal saat itu.
Selain nilai sastranya, buku-buku Saikaku juga menarik karena melaluinya kita bisa belajar sejarah kehidupan di zaman Edo. Cukup banyak bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga dapat diakses oleh khalayak modern.
Banyak kisah parodi dan humor yang dilebih-lebihkan. Meski begitu tulisannya tentang cinta, kehidupan pedagang, dan pejuang memberikan wawasan tentang kehidupan sehari-hari yang tidak dapat kita temukan di sumber lain.
Sejarah mencatat, sebelum abad ke-17 jumlah melek huruf di Jepang masih terbatas pada bangsawan istana, prajurit berpangkat tinggi, dan pendeta Buddha. Akan tetapi, pertumbuhan kota pada periode Edo awal memfasilitasi penyebaran melek huruf.
Banyak daimyo mendirikan sekolah untuk anak-anak prajurit mereka sehingga mereka dapat memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas administratif yang dibutuhkan zaman baru. Anak-anak rakyat jelata juga bisa mengenyam pendidikan melalui sekolah kuil swasta yang disebut terakoya.
Penyebaran literasi sangat ditingkatkan dengan munculnya penerbitan komersial yang membuat buku lebih mudah tersedia. Teknik percetakan dengan cetakan balok kayu telah diperkenalkan di Jepang dari Tiongkok pada abad ke-8 tetapi penggunaannya sebagian besar terbatas pada produksi teks-teks Buddhis. Buku-buku kebanyakan beredar dalam bentuk manuskrip.
Teknologi percetakan baru Eropa walau memiliki dampak revolusioner di dunia, tetapi hal ini tidak berlaku di Jepang. Sebab tidak cocok untuk mencetak aksara Jepang yang terdiri dari dua huruf kana dan ribuan aksara Tionghoa.
Untuk mencetak buku, terutama dengan gaya kursif kana, jauh lebih mudah untuk menggores teks ke dalam balok kayu dan kemudian menggunakannya untuk mencetak buku. Kesulitan utama dengan pencetakan semacam ini adalah balok-balok itu akan aus setelah beberapa waktu dan harus dibuat ulang.
Mengikuti kesuksesan kisah cinta berjudul Koshoku ichidai otoko Pria yang Mencintai Cinta, Saikaku menulis sebelas buku lagi dengan tema kisah cinta. Wankyu isse no monogatari yang ditulis tahun 1685, menceritakan tentang kisah cinta seorang saudagar Osaka mengejar pelacur dan berakhir dengan kebangkrutan dan kematian. Meskipun ceritanya agak dibesar-besarkan, namun memberi pemahaman tentang nilai-nilai sosial pada saat itu.
Berbeda dengan dua belas buku mengenai kisah cinta, Saikaku hanya menulis tiga buku tentang kehidupan pedagang dan kehidupan samurai.
Pada buku tentang kehidupan pedagang, Saikaku mengirimkan pesan campuran tentang moralitas berbisnis. Akan tetapi, banyak cerita yang mengkritik nilai uang di atas segalanya dan memuji nilai kesederhanaan, penghematan, dan kerja keras. Karya ini merupakan kumpulan cerita tentang kesulitan yang dialami penduduk kota tingkat menengah ke bawah dalam melunasi hutang.
Pada tahun 1687, Saikaku menerbitkan novel pertama tentang samurai. Koleksi kumpulan novel tentang samurai Saikaku berikutnya menceritakan tentang komitmen samurai terhadap tugas mereka, bukan memuji balas dendam. Berbeda dari novel pertamanya tentang samurai yang memberi contoh balas dendam. Pada novel ini rasa terima kasih, kasih sayang dan kemurahan hati ditekankan sebagai kualitas paling penting dari samurai.
Meskipun kisah-kisah Saikaku tentang samurai tidak sepopuler novel cintanya, cerita dalam Buke giri monogatari Kisah Kehormatan Samurai menunjukkan keberanian seorang samurai yang heroik. Saikaku berusaha membangun kebajikan dalam diri para pembacanya. Namun demikian, seolah-olah kematian adalah keadaan alami dan kehidupan hanyalah rintangan yang menghalangi jalan menuju kematian.
Samurai dapat dengan mudah mengorbankan hidup mereka demi tugas. Bukan sembarang kematian. Seorang samurai mencari kematian yang berkualitas. Kebajikan adalah kesetiaan. Mengorbankan hidup seseorang untuk melayani tuannya agar diberkati.
Michael Hoffman, seorang jurnalis The Japan Times mengatakan Ihara Saikaku adalah novelis terbaik dalam menggambarkan kesetiaan, cinta, dan keserakahan. Saikaku dapat dikatakan adalah sebagai salah satu pendiri budaya populer Jepang yang kini telah dikenal di seluruh dunia.
Saikaku meninggal di Osaka pada tahun 1693. Bersama dramawan Chikamatsu Monzaemon dan penyair Matsuo Basho, dia dianggap sebagai salah satu dari tiga tokoh sastra besar pada zaman Edo. Salah satu bukunya yang berjudul Saikaku oridome Anyaman Terakhir Saikaku diterbitkan satu tahun setelah kematiannya.