Nationalgeographic.co.id – Samurai, bangsawan militer Kekaisaran Jepang abad pertengahan dan awal modern telah lama memikat imajinasi orang-orang di seluruh dunia. Untuk menjadi seorang samurai sejati, samurai muda atau remaja dituntut untuk mengikuti berbagai pelatihan. Lalu bagaimana kehidupan sehari-hari mereka?
Samurai dikenal karena kehebatan bela diri mereka yang legendaris, kesetiaan yang tak tergoyahkan, dan kedalaman filosofis telah menjadikan mereka tokoh ikonik dalam catatan sejarah Kekaisaran Jepang.
Samurai menggunakan berbagai senjata seperti busur dan anak panah, tombak dan senjata, tetapi senjata dan simbol utama mereka adalah pedang. Namun, kehidupan seorang samurai tidak semuanya tentang pertempuran epik dan tindakan heroik.
Kelas Samurai
Samurai seharusnya menjalani hidup mereka sesuai dengan kode etik bushido (cara prajurit). Sangat bersifat Konfusianisme, bushido menekankan konsep-konsep seperti kesetiaan kepada tuannya, disiplin diri, dan perilaku etis yang terhormat. Banyak samurai juga tertarik pada ajaran dan praktik Buddhisme Zen.
Kelas samurai muncul selama periode Heian (794-1185), tetapi selama periode Kamakura (1185-1333) dan Muromachi (1336-1573) mereka benar-benar menjadi milik mereka sendiri.
Periode Sengoku (1467-1603), sering disebut sebagai Zaman Negara-Negara Berperang, melihat samurai terlibat dalam peperangan terus-menerus, sedangkan periode Edo (1603-1868) adalah waktu yang relatif damai, yang menyebabkan pergeseran gaya hidup samurai.
Masa saat seorang samurai remaja hidup akan sangat memengaruhi kehidupan dan pengalaman sehari-hari mereka. Kelas samurai berubah dari prajurit menjadi birokrat.
Selama periode Kamakura dan Muromachi, samurai pada dasarnya adalah pejuang, sering menjadi bawahan penguasa yang kuat. Mereka diharapkan untuk menguasai seni perang dan siap berperang pada saat itu juga.
Para remaja dalam keluarga samurai akan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengasah keterampilan bela diri mereka, mempersiapkan hari ketika akan bergabung dengan orang yang lebih tua di medan perang.
Periode Sengoku adalah masa konflik yang intens dan pergolakan sosial. Samurai remaja selama era ini akan didorong ke dalam kekacauan perang di usia muda.
Kehidupan sehari-hari mereka didominasi oleh pelatihan dan peperangan, dengan sedikit waktu untuk hal lain.
Selama era kekacauan negara-negara yang berperang pada abad ke-15 dan ke-16, Jepang terpecah menjadi puluhan negara merdeka yang terus-menerus berperang satu sama lain. Akibatnya, prajurit sangat diminati.
Pada saat itu juga merupakan era ketika ninja, pejuang yang berspesialisasi dalam perang nonkonvensional, paling aktif.
Negara itu akhirnya dipersatukan kembali pada akhir tahun 1500-an, dan sistem kasta sosial yang kaku didirikan selama Periode Edo yang menempatkan samurai di posisi teratas, diikuti oleh para petani, pengrajin, dan pedagang.
Selama masa ini, para samurai dipaksa untuk tinggal di kota-kota kastel , satu-satunya yang diizinkan untuk memiliki dan membawa pedang dan dibayar dengan beras oleh daimyo atau penguasa feodal mereka. Samurai tak bertuan disebut ronin dan menyebabkan masalah kecil selama tahun 1600-an.
Kedamaian relatif berlaku selama kira-kira 250 tahun Periode Edo. Akibatnya, pentingnya keterampilan bela diri menurun, dan banyak samurai menjadi birokrat, guru, atau seniman. Era feodal Jepang akhirnya berakhir pada tahun 1868 , dan kelas samurai dihapuskan beberapa tahun kemudian.
Samurai remaja di era ini akan memiliki pendidikan yang lebih seimbang, dengan penekanan yang lebih besar pada pengejaran akademis dan budaya.
Kehidupan sehari-hari mereka akan lebih terstruktur dan tidak terlalu berbahaya, tetapi harapan yang diberikan kepada mereka untuk menegakkan kode etik samurai tidak kalah ketatnya.
Anak-anak Dilatih Jadi Petarung dan Praktik Spiritual
Dalam masyarakat hierarkis Jepang feodal, remaja dalam keluarga samurai memegang posisi yang unik. Sejak usia sangat muda, mereka dipersiapkan untuk menjadi generasi elite militer berikutnya, menjalani pelatihan keras dalam seni bela diri, akademisi dan praktik spiritual.
Pelatihan seni bela diri adalah landasan pendidikan samurai. Sejak kecil, samurai dilatih dalam berbagai bentuk pertarungan, termasuk kenjutsu (seni pedang), kyudo (memanah), dan jujutsu (pertarungan tanpa senjata).
Pendidikan akademik juga merupakan bagian penting dari pelatihan samurai. Samurai diharapkan melek huruf dan fasih dalam sastra dan filsafat klasik. Mereka mempelajari karya-karya seperti "The Tale of Genji" dan "The Tales of the Heike," yang tidak hanya memberi pendidikan budaya yang kaya tetapi juga mengajari tentang cita-cita kehormatan, kesetiaan, dan keberanian.
Mereka juga mempelajari kaligrafi, suatu bentuk seni yang diyakini mencerminkan karakter dan jiwa seseorang.
Pelatihan spiritual adalah komponen kunci lain dari pendidikan samurai. Banyak samurai mengikuti Buddhisme Zen, yang menekankan meditasi dan kewaspadaan sebagai cara mencapai pencerahan spiritual dan kedamaian batin.
Latihan spiritual ini dipandang sebagai cara untuk menumbuhkan ketahanan mental dan fokus yang dibutuhkan dalam pertempuran.
Setelah sarapan, samurai muda akan memulai latihan bela diri mereka. Ini bisa melibatkan berlatih ilmu pedang, memanah, atau bentuk pertempuran lainnya di bawah pengawasan instruktur yang terampil.
Pelatihan sangat ketat dan menuntut, sering kali melibatkan latihan berulang selama berjam-jam untuk menyempurnakan teknik tertentu.
Tengah hari akan membawa istirahat untuk makan siang, diikuti dengan masa istirahat. Setelah itu, samurai muda itu akan terlibat dalam studi akademis. Hal ini melibatkan membaca dan menulis, mempelajari sastra klasik, atau berlatih kaligrafi.
Tujuannya bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan, tetapi untuk menumbuhkan pikiran yang halus dan berbudaya.
Sebelum tidur malam, samurai remaja Kekaisaran Jepang melakukan meditasi atau latihan spiritual lainnya. Waktu untuk refleksi dan introspeksi, cara untuk memupuk kedamaian batin dan ketahanan mental.