Nationalgeographic.co.id—Ilmuwan Australia mengungkapkan adanya penindasan ilmiah yang akan mengancam konservasi di Indonesia. Para ilmuwan Australia itu adalah tim peneliti konservasi yang memiliki pengalaman jangka panjang di Indonesia.
Surat peneliti Australia itu telah dipublikasikan di Current Biology dengan judul "In Indonesia and beyond nature conservation needs independent science" dan merupakan jurnal akses terbuka.
Dijelaskan, bahwasanya Indonesia adalah rumah bagi hutan hujan tropis terbesar di Asia Tenggara dengan lebih dari 17.500 pulau. Indonesia adalah negara yang penuh dengan keanekaragaman hayati dan spesies yang terancam punah.
Namun, para ilmuwan yang mempelajari spesies dan ekosistem di kawasan itu dilarang oleh Indonesia, dan rencana konservasi diblokir.
Rencana konservasi itu adalah upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan dan melindungan bentang alam di Indonesia. Namun demikian, pada kenyataanya upaya seperti itu seringkali berbenturan dengan berbagai kepentingan di Indonesia.
Oleh karena itu, surat mereka membahas penindasan ilmiah dan tantangan penelitian lain yang mereka saksikan saat bekerja di wilayah Indonesia.
Menurut mereka, konservasi keanekaragaman hayati adalah disiplin krisis yang sering membutuhkan evaluasi potensi intervensi untuk mengurangi ancaman lingkungan.
"Untuk memiliki kesempatan sukses, kegiatan konservasi masa lalu perlu dinilai, untuk lebih memahami bagaimana pendekatan alternatif memengaruhi hasil konservasi," tulis mereka.
Namun, banyak pemerintah dan perusahaan memiliki kepentingan dalam debat lingkungan. Tidak hanya itu, mereka juga mempromosikan informasi yang mendukung pandangan mereka, dengan beberapa bahkan menyembunyikan bukti yang relevan dan tidak sesuai.
"Yang mengkhawatirkan, tindakan semacam itu dapat merusak sains sebagai panduan independen untuk pembuatan kebijakan dan pengelolaan konservasi," menurut mereka.
Mereka menawarkan saran tentang cara mempromosikan konservasi alam, melindungi transparansi data, dan berbagi penelitian dengan publik di Indonesia dan wilayah lain di dunia.
“Jika Anda melihat peta panas Bumi, dan di mana spesies yang terancam punah berada, Indonesia dan wilayah umumnya berada di luar grafik,” kata ilmuwan lingkungan tropis William F. Laurance dari James Cook University.
Laurance telah melakukan penelitian tentang dampak lingkungan dari pembangunan di Asia Tenggara selama lebih dari satu dekade.
Laurance dan tim penulis mengatakan bahwa mereka tertarik untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu yang dihadapi konservasi di Indonesia.
Indonesia adalah negara megadiversitas yang memiliki bentangan hutan hujan tropis terbesar di Asia Tenggara, dengan jumlah spesies terancam punah yang hampir tak tertandingi.
Kemudian, selama mereka bekerja di wilayah Indonesia, mereka menyaksikan banyak contoh ketika pemerintah dan perusahaan menghambat penelitian—termasuk penelitian mereka sendiri.
Misalnya, mereka menulis dalam surat tersebut, pada tahun 2022. Lima peneliti konservasi terkemuka dilarang bekerja di Indonesia dengan alasan bahwa mereka memiliki “niat negatif” untuk “mendiskreditkan pemerintah.”
Para peneliti mereferensikan makalah tentang konservasi hutan dan pengelolaan satwa liar di Sumatra, di mana tim tersebut memiliki banyak kolega dari Indonesia.
Mereka menolak kolaborasi “karena kekhawatiran bahwa hal itu dapat berdampak buruk pada pendanaan, izin penelitian, atau peluang kontrak komersial di Indonesia.”
“Para peneliti berkata, 'Yah, tidak, Anda tidak dapat menceritakan kisah itu, meskipun itu benar, dan Anda tidak dapat mengidentifikasi saya atau memasukkan semua detail yang relevan.' Dan ini terus terjadi berulang kali. Ini adalah iklim ketakutan,” kata Laurance.
Untuk melindungi penelitian lingkungan di Indonesia dan para kontributor yang mengerjakannya, Laurance dan timnya menyarankan agar organisasi yang mendanai penelitian di wilayah tersebut memerlukan transparansi data untuk penelitian yang mereka dukung.
Mereka juga merekomendasikan penerapan dan penggunaan situs “Safe houses” yang merupakan situs pelapor yang dirancang untuk melindungi anonimitas dan kebocoran informasi.
Situs tersebut juga dapat menerbitkan jurnal secara anonim, yaitu publikasi yang kontributornya tidak disebutkan namanya.
Mereka mengatakan bahwa intervensi ini dapat membantu para peneliti menyampaikan informasi kepada publik, tetapi tanpa khawatir tentang konsekuensi terikat secara pribadi dengan temuan mereka.
Penulis mencatat bahwa beberapa organisasi mengadvokasi perubahan, khususnya di Indonesia.
Beberapa contoh dari kelompok ini termasuk Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik dan LBH Jakarta, yang berorganisasi untuk mendukung konservasi dan menggagalkan upaya membungkam para peneliti.
Mereka juga mencatat bahwa penindasan ilmiah sama sekali tidak hanya terjadi di Indonesia. Penindasan ilmiah sama sekali tidak unik di Indonesia.
Sebuah survei ahli ekologi baru-baru ini di Australia menemukan campur tangan pemerintah yang meluas yang menghambat debat publik dan pembuatan kebijakan.
“Saya pikir para ilmuwan memiliki tanggung jawab yang sangat serius untuk mencoba mengomunikasikan apa yang sedang terjadi di dunia. Apa yang terjadi di sini adalah masalah yang lebih besar daripada yang dibicarakan,” kata Laurance.
“Perlu ada cara untuk mengeluarkan informasi, tetapi para ilmuwan di banyak negara sedang berjuang keras.”