Periode Sengoku (1467-1603), yang dikenal sebagai 'Zaman Negara Berperang', adalah masa konflik militer dan kekacauan politik yang terus-menerus, di mana kecakapan bela diri samurai sangat diminati.
Masa ketika kesetiaan samurai diuji, kesetiaan berpindah-pindah adalah hal biasa, dan proses konsolidasi di bawah daimyo yang kuat, atau penguasa feodal, diintensifkan.
Puncak Samurai
Puncak era samurai Kekaisaran Jepang biasanya dikaitkan dengan Keshogunan Tokugawa (1603–1868), juga dikenal sebagai Zaman Edo.
Periode ini ditandai dengan relatif damai, makmur, dan terisolasi dari dunia luar, menyusul penyatuan Jepang di bawah Tokugawa Ieyasu, seorang samurai yang sangat ahli dan politikus yang cerdas.
Pembentukan pemerintahan samurai yang stabil menyebabkan penurunan konflik militer skala besar, dan samurai, yang dulunya adalah pejuang aktif, beralih ke peran administratif.
Selama Periode Edo, kelas samurai memantapkan posisinya di puncak hirarki sosial Jepang. Mereka menjadi pelayan budaya, pendidikan, dan pemerintahan, dengan tatanan sosial ketat yang diilhami Konfusianisme yang dengan jelas menggambarkan status superior samurai.
Meskipun masa damai, samurai masih diharapkan untuk mengasah keterampilan bela diri mereka dan hidup dengan Kode Bushido.
Tetapi dengan tidak adanya perang, mereka juga melakukan upaya intelektual dan artistik, memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan budaya Jepang selama periode ini.
Samurai terkemuka seperti Miyamoto Musashi, seorang pendekar pedang terkenal, dan Yamamoto Tsunetomo, penulis "Hagakure", sebuah teks klasik tentang etika samurai, tumbuh subur di era ini, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada filosofi dan budaya samurai. Ajaran mereka terus memengaruhi interpretasi warisan samurai hingga saat ini.
Periode ini juga menyaksikan munculnya arsitektur samurai yang berbeda. Hal ini termasuk kastil dan tempat tinggal samurai, yang berfungsi sebagai benteng dan simbol status.