Joy Monteiro, seorang peneliti di India yang bulan lalu menerbitkan sebuah studi di Nature yang mengamati suhu bola basah di Asia Selatan. Ia mengatakan bahwa gelombang panas yang paling mematikan di wilayah tersebut jauh di bawah ambang batas bola basah 35 derajat celsius.
Batasan daya tahan manusia seperti itu "sangat berbeda untuk orang yang berbeda," katanya kepada AFP.
“Kita tidak hidup dalam ruang hampa – terutama anak-anak,” kata Ayesha Kadir, seorang dokter anak di Inggris dan penasehat kesehatan di Save the Children.
"Anak-anak kecil kurang mampu mengatur suhu tubuh mereka, menempatkan mereka pada risiko yang lebih besar," katanya.
Orang tua, yang memiliki lebih sedikit kelenjar keringat, adalah yang paling rentan. Hampir 90 persen kematian terkait panas di Eropa musim panas lalu terjadi di antara orang berusia di atas 65 tahun.
Orang yang harus bekerja di luar dalam suhu yang melonjak juga lebih berisiko. Bisa atau tidaknya orang kadang-kadang mendinginkan tubuhnya juga menjadi faktor utama, seperti misalnya berada di ruangan ber-AC.
Monteiro menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki akses ke toilet seringkali minum lebih sedikit air, yang menyebabkan dehidrasi.
"Seperti banyak dampak perubahan iklim, orang-orang yang paling tidak mampu melindungi diri dari kondisi ekstrem inilah yang akan paling menderita," kata Raymond.
Penelitiannya menunjukkan bahwa fenomena cuaca El Nino telah mendorong suhu bola basah di masa lalu. Peristiwa El Nino pertama dalam empat tahun diperkirakan akan mencapai puncaknya menjelang akhir tahun ini.
Suhu bola basah juga terkait erat dengan suhu permukaan laut, kata Raymond.
Lautan dunia mencapai suhu tertinggi sepanjang masa bulan lalu, mengalahkan rekor tahun 2016 sebelumnya, menurut pengamat iklim Uni Eropa.