Ilmuwan Mengungkap Batas Kritis Tubuh Manusia Hadapi Perubahan Iklim

By Ricky Jenihansen, Minggu, 13 Agustus 2023 | 10:00 WIB
Perubahan iklim telah mendesak batas kritis tubuh manusia. (India Today)

Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim telah membuat banyak perubahan lingkungan yang mendesak batas kritis dan mengancam kehidupan manusia. Sekarang, ilmuwan mengidentifikasi batas kritis tubuh manusia dan seberapat jauh dapat menoleransi perubahan.

Analisis mereka menemukan hubungan kuat antara campuran panas dan kelembapan maksimum yang dapat manusia tahan. Jika batas kritis tersebut terlewati, manusia mungkin dapat kehilangan nyawa.

Orang yang sehat akan mati setelah bertahan selama enam jam dalam suhu hangat 35 derajat celsius, ditambah kelembapan 100 persen. Akan tetapi, hasil analisis mereka menunjukkan, bahwa ambang batas bahkan bisa jauh lebih rendah.

Pada titik itu, keringat tidak lagi menguap dari kulit. Padahal keringat merupakan alat utama tubuh untuk menurunkan suhu intinya.

Kondisi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan sengatan panas, kegagalan organ, dan kematian. Batas kritis ini dapat terjadi pada 35 derajat dari apa yang dikenal sebagai "suhu bola basah".

Namun, kondisi itu telah terjadi sekitar belasan kali, kebanyakan di Asia Selatan dan Teluk Persia, kata Colin Raymond dari Jet Propulsion Laboratory NASA.

Tak satu pun dari kejadian itu berlangsung lebih dari dua jam. "Artinya tidak pernah ada "peristiwa kematian massal" yang terkait dengan batas kelangsungan hidup manusia ini," kata Raymond, yang memimpin studi besar tentang masalah ini.

Tetapi panas ekstrem tidak perlu mendekati tingkat itu untuk membunuh orang, dan setiap orang memiliki ambang yang berbeda. Ketahanan tubuh manusia tergantung pada usia, kesehatan, dan faktor sosial dan ekonomi lainnya, kata para ahli.

Misalnya, lebih dari 61.000 orang diperkirakan telah meninggal akibat panas musim panas lalu di Eropa. Padahal jarang ada kelembapan yang cukup untuk menciptakan suhu bola basah yang berbahaya.

Kelembapan dan suhu dapat berkorelasi dan membahayakan tubuh manusia. (Getty Images)

Tetapi karena suhu global meningkat akibat perubahan iklim, para ilmuwan memperingatkan bahwa peristiwa bola basah yang berbahaya juga akan menjadi lebih umum.

Seperti misalnya bulan Juli 2023 yang dikonfirmasi sebagai yang terpanas dalam sejarah. "Frekuensi peristiwa semacam itu setidaknya meningkat dua kali lipat selama 40 tahun terakhir," kata Raymond.

Raymond mengatakan, bahwa peningkatan suhu akibat perubahan iklim itu sebagai bahaya serius yang telah diciptakan manusia. Penelitian Raymond memproyeksikan bahwa suhu bola basah akan "secara teratur melebihi" 35 derajat celsius.

Kondisi itu bisa terjadi di beberapa titik di seluruh dunia dalam beberapa dekade mendatang. Terutama jika dunia menghangat 2,5 derajat celsius di atas tingkat praindustri.

Suhu bola basah

Meskipun sekarang sebagian besar dihitung menggunakan pembacaan panas dan kelembapan, suhu bola basah awalnya diukur dengan meletakkan kain basah di atas termometer dan memaparkannya ke udara.

Ini memungkinkannya untuk mengukur seberapa cepat air menguap dari kain, mewakili keringat dari kulit.

Teori batas kelangsungan hidup manusia pada suhu bola basah 35 derajat celsius mewakili kondisi panas kering serta kelembapan 100 persen. Kondisi serupa juga dapat terjadi dengan suhu 46 derajat celicus pada kelembapan 50 persen.

Untuk menguji batas ini, para peneliti di Pennsylvania State University di Amerika Serikat mengukur suhu inti orang muda yang sehat di dalam ruang panas.

Mereka menemukan bahwa peserta mencapai "batas lingkungan kritis" mereka. Itu dapat terjadi ketika tubuh mereka tidak dapat menghentikan suhu inti mereka untuk terus meningkat pada suhu bola basah 30,6 derajat celsius.

Batas tersebut ternyata jauh di bawah teori sebelumnya yaitu 35 derajat celsius.

"Tim memperkirakan bahwa akan memakan waktu antara lima hingga tujuh jam sebelum kondisi seperti itu mencapai "suhu inti yang benar-benar berbahaya," kata Daniel Vecellio, yang bekerja pada penelitian tersebut.

Ilustrasi digital seseorang menonton simulasi perubahan iklim. (boscorelli/Shutterstock)

Yang paling rentan

Joy Monteiro, seorang peneliti di India yang bulan lalu menerbitkan sebuah studi di Nature yang mengamati suhu bola basah di Asia Selatan. Ia mengatakan bahwa gelombang panas yang paling mematikan di wilayah tersebut jauh di bawah ambang batas bola basah 35 derajat celsius.

Batasan daya tahan manusia seperti itu "sangat berbeda untuk orang yang berbeda," katanya kepada AFP.

“Kita tidak hidup dalam ruang hampa – terutama anak-anak,” kata Ayesha Kadir, seorang dokter anak di Inggris dan penasehat kesehatan di Save the Children.

"Anak-anak kecil kurang mampu mengatur suhu tubuh mereka, menempatkan mereka pada risiko yang lebih besar," katanya.​

Orang tua, yang memiliki lebih sedikit kelenjar keringat, adalah yang paling rentan. Hampir 90 persen kematian terkait panas di Eropa musim panas lalu terjadi di antara orang berusia di atas 65 tahun.

Orang yang harus bekerja di luar dalam suhu yang melonjak juga lebih berisiko. Bisa atau tidaknya orang kadang-kadang mendinginkan tubuhnya juga menjadi faktor utama, seperti misalnya berada di ruangan ber-AC.

Monteiro menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki akses ke toilet seringkali minum lebih sedikit air, yang menyebabkan dehidrasi.

"Seperti banyak dampak perubahan iklim, orang-orang yang paling tidak mampu melindungi diri dari kondisi ekstrem inilah yang akan paling menderita," kata Raymond.

Penelitiannya menunjukkan bahwa fenomena cuaca El Nino telah mendorong suhu bola basah di masa lalu. Peristiwa El Nino pertama dalam empat tahun diperkirakan akan mencapai puncaknya menjelang akhir tahun ini.

Suhu bola basah juga terkait erat dengan suhu permukaan laut, kata Raymond.

Lautan dunia mencapai suhu tertinggi sepanjang masa bulan lalu, mengalahkan rekor tahun 2016 sebelumnya, menurut pengamat iklim Uni Eropa.