Pengukuran stok karbon total bervariasi pada berbagai pengaturan dan kondisi. Pada kondisi hidrogeomorfik wilayah pesisir, hutan mangrove di bagian dalam muara menyimpan cadangan karbon total terbesar.
Sedangkan di hutan mangrove di pinggiran muara menyimpan total cadangan karbon terendah, dengan hanya sepertiga stok karbon ditemukan di bagian dalam muara.
Penelitian menunjukkan bahwa di hutan mangrove wilayah pesisir terbuka, total stok antara daerah pinggiran dan daerah pedalaman adalah serupa.
Cadangan karbon di hutan mangrove bagian dalam muara dua kali lebih besar dari perkiraan stok karbon di pantai terbuka dan pinggiran muara, karena tanah organiknya lebih dalam, kata Sasmito.
Di hutan mangrove muara, lebih dari 62 persen total cadangan karbon tanah berada pada lapisan tanah yang lebih dalam dibandingkan lapisan atas.
Namun, di kawasan mangrove lainnya, lapisan tanah yang lebih dalam menyumbang kurang dari 40 persen total stok karbon tanah.
“Kami menemukan bahwa terdapat sejumlah besar simpanan karbon biru alami yang bergantung pada lokasi dan penggunaan lahan,” kata Sigit.
Penelitian CIFOR sebelumnya telah menunjukkan bahwa hutan mangrove wilayah pesisir di Papua menangkap sedimen yang mengandung karbon organik dengan konsentrasi tinggi. Sedimen itu dapat terakumulasi seiring dengan adaptasi kenaikan permukaan air laut.
Mereka juga mengukur kapasitas penyimpanan karbon biru pada ekosistem mangrove yang dipengaruhi oleh penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Terdapat penebangan hutan secara bergilir dan tambak budidaya pada ekosistem tersebut.
Konversi hutan bakau menjadi budidaya perairan menyebabkan hilangnya cadangan karbon biomassa hidup sebesar 85 persen.
Kombinasi hilangnya cadangan karbon dari biomassa hidup dan sumber karbon tanah akibat konversi hutan bakau dan budidaya perikanan terbukti mengurangi cadangan karbon sebesar 66 persen.
“Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kebijakan untuk melestarikan mangrove sebagai penyerap karbon dapat membantu Indonesia mengurangi emisi terkait penggunaan lahan,” kata Daniel Murdiyarso, ilmuwan utama CIFOR.
"Tetapi hal ini juga menunjukkan bahwa kita harus melanjutkan dengan hati-hati untuk memastikan bahwa program regenerasi bibit bakau didasarkan pada kesesuaian hidrogeomorfik."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.