Nationalgeographic.co.id—Hasil penelitian yang dipimpin ilmuwan Center for International Forestry Research (CIFOR) menyarankan, bahwa karakteristik hutan mangrove dalam berbagai ekosistem wilayah pesisir harus dievaluasi. Sehingga kita dapat menilai penghitungan emisi karbon biru tingkat negara dengan benar.
Penelitian itu telah diterbitkan di jurnal Global Change Biology. Para peneliti melakukan penelitian di Papua dan Papua Barat, provinsi paling timur di Indonesia yang kaya karbon.
Hasil penelitian itu dipublikasikan dengan judul "Mangrove blue carbon stocks and dynamics are controlled by hydrogeomorphic settings and land-use change" yang merupakan jurnal akses terbuka.
Seperti diketahui, hutan mangrove berada di berbagai ekosistem. Mulai dari tatanan alami yang tidak terganggu hingga area di mana terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup besar.
Sementara mangrove telah lama dikenal sebagai penyerap “karbon biru” yang signifikan. Mangrove juga sebagai penyangga wilayah pesisir terhadap erosi yang disebabkan oleh aktivitas laut dan kenaikan permukaan laut.
Menurut hasil penelitian ini, ilmuwan menunjukkan bahwa kapasitas penyimpanan karbonnya sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor ekologis.
Penemuan ini dapat berdampak pada target Indonesia dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).
“Temuan kami menunjukkan bahwa regenerasi mangrove dalam jangka panjang memiliki potensi untuk berkontribusi pada Indonesia’s Nationally Determined Contributions (NDCs)," kata penulis utama Sigit Sasmito, peneliti CIFOR.
"Dengan meningkatkan stok karbon mangrove dan mengimbangi emisi gas rumah kaca antropogenik dari perubahan penggunaan lahan."
Sigit menjelaskan, bahwa hampir seperempat dari seluruh hutan mangrove di seluruh dunia terletak di sepanjang 2,9 juta hektar garis pantai di seluruh kepulauan Indonesia. Luas tersebut kira-kira seluas Belgia.
Sekitar 10 persen di antaranya berada di Papua dan Papua Barat yang kaya karbon, provinsi paling timur Indonesia. Jumlah itu setara dengan separuh kawasan mangrove di Indonesia.
“Penilaian kami terhadap stok karbon biru serta potensi emisi dan serapannya menunjukkan bahwa praktik pengelolaan lahan di hutan mangrove di Papua saat ini, seperti penebangan hutan dan budidaya perikanan skala kecil, mengurangi stok karbon secara signifikan,” kata Sigit.
"Indonesia mempunyai peran penting dalam kebijakan mitigasi perubahan iklim berbasis alam," ia menambahkan.
Sigit menambahkan bahwa para ilmuwan mengantisipasi peningkatan perubahan penggunaan lahan di hutan mangrove Papua di masa depan. Hal itu perlu diantisipasi karena dapat mengakibatkan emisi gas rumah kaca yang besar dan berdampak pada NDC.
NDC adalah bagian penting dari strategi Perjanjian Paris untuk perubahan iklim. Sehingga dapatk mencegah kenaikan suhu rata-rata pasca-industri hingga 1,5 derajat Celcius atau lebih tinggi.
Berdasarkan perjanjian tersebut, yang dibuat sebagai bagian dari UNFCCC, setiap negara diwajibkan untuk menyediakan data tentang emisi gas rumah kaca dan target pengurangan yang ingin dicapai pasca tahun 2020.
Kontribusi mangrove dianggap sebagai solusi berbasis alam yang dapat membantu memperbaiki dampak perubahan iklim terhadap planet bumi.
Pengukuran Hutan Mangrove
Untuk mencapai temuan mereka, ilmuwan lokal dan internasional dari 18 institusi mengumpulkan sumber daya untuk menghitung angka-angka tersebut.
Pekerjaan mereka melibatkan perbandingan stok karbon, struktur hutan dan sifat tanah hutan mangrove di 255 plot terukur di empat lokasi pengambilan sampel mangrove hidrogeomorfik.
Hidrogeomorfik adalah istilah yang mengacu pada interaksi kompleks antara faktor hidrologis (kaitannya dengan air) dan faktor geomorfologi (kaitannya dengan bentuk dan fitur lahan).
Pengambilan sampel itu termasuk pinggiran muara, bagian dalam muara, pinggiran pantai terbuka, dan mangrove bagian dalam pantai terbuka.
Mereka menilai empat simpanan cadangan karbon, yang mencakup karbon biomassa pohon di atas permukaan tanah. Kemudian karbon kayu mati, karbon biomassa akar bawah tanah dan karbon tanah.
Mereka mengukur pengaturan hidrogeomorfik, perubahan penggunaan lahan, kepadatan pohon, jumlah spesies pohon, kepadatan massal, kandungan karbon, kepadatan karbon dan kedalaman tanah.
Pengukuran stok karbon total bervariasi pada berbagai pengaturan dan kondisi. Pada kondisi hidrogeomorfik wilayah pesisir, hutan mangrove di bagian dalam muara menyimpan cadangan karbon total terbesar.
Sedangkan di hutan mangrove di pinggiran muara menyimpan total cadangan karbon terendah, dengan hanya sepertiga stok karbon ditemukan di bagian dalam muara.
Penelitian menunjukkan bahwa di hutan mangrove wilayah pesisir terbuka, total stok antara daerah pinggiran dan daerah pedalaman adalah serupa.
Cadangan karbon di hutan mangrove bagian dalam muara dua kali lebih besar dari perkiraan stok karbon di pantai terbuka dan pinggiran muara, karena tanah organiknya lebih dalam, kata Sasmito.
Di hutan mangrove muara, lebih dari 62 persen total cadangan karbon tanah berada pada lapisan tanah yang lebih dalam dibandingkan lapisan atas.
Namun, di kawasan mangrove lainnya, lapisan tanah yang lebih dalam menyumbang kurang dari 40 persen total stok karbon tanah.
“Kami menemukan bahwa terdapat sejumlah besar simpanan karbon biru alami yang bergantung pada lokasi dan penggunaan lahan,” kata Sigit.
Penelitian CIFOR sebelumnya telah menunjukkan bahwa hutan mangrove wilayah pesisir di Papua menangkap sedimen yang mengandung karbon organik dengan konsentrasi tinggi. Sedimen itu dapat terakumulasi seiring dengan adaptasi kenaikan permukaan air laut.
Mereka juga mengukur kapasitas penyimpanan karbon biru pada ekosistem mangrove yang dipengaruhi oleh penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Terdapat penebangan hutan secara bergilir dan tambak budidaya pada ekosistem tersebut.
Konversi hutan bakau menjadi budidaya perairan menyebabkan hilangnya cadangan karbon biomassa hidup sebesar 85 persen.
Kombinasi hilangnya cadangan karbon dari biomassa hidup dan sumber karbon tanah akibat konversi hutan bakau dan budidaya perikanan terbukti mengurangi cadangan karbon sebesar 66 persen.
“Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kebijakan untuk melestarikan mangrove sebagai penyerap karbon dapat membantu Indonesia mengurangi emisi terkait penggunaan lahan,” kata Daniel Murdiyarso, ilmuwan utama CIFOR.
"Tetapi hal ini juga menunjukkan bahwa kita harus melanjutkan dengan hati-hati untuk memastikan bahwa program regenerasi bibit bakau didasarkan pada kesesuaian hidrogeomorfik."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.