Nationalgeographic.co.id—Pembangunan benteng atau kastel telah dilakukan sejak zaman kuno di Kekaisaran Jepang. Namun pada periode dari tahun 1576 hingga 1639, kastel dengan gaya baru dan khas dibangun oleh penguasa dari kelas samurai. Alih-alih untuk berperang, kastel jadi simbol kekuatan dan prestise orang yang membangunnya.
Periode Negara-Negara Berperang di Kekaisaran Jepang
Periode Sengoku atau periode Negara-Negara Berperang adalah masa di mana perang saudara terus terjadi. Ketika otoritas pusat runtuh, klan samurai yang kuat saling bertarung memperebutkan tanah dan kekuasaan. Mereka dikenal dengan sebutan daimyo atau tuan tanah.
“Seiring berjalannya waktu, jumlah daimyo berangsur-angsur menurun karena yang lebih kuat menghancurkan yang lemah,” tulis Graham Squires di laman World History Encyclopedia.
Pada tahun 1560-an, Oda Nobunaga muncul sebagai daimyo terkuat di Kekaisaran Jepang.
Oda Nobunaga dan Kastel Azuchi
Untuk meningkatkan kekuasaan dan prestisenya, Nobunaga membangun sebuah kastel besar di Azuchi. Pembangunannya memakan waktu 3 tahun dan selesai pada tahun 1579. Kastel Azuchi tidak seperti benteng mana pun yang pernah dibangun di Kekaisaran Jepang sebelumnya.
Sebelumnya, benteng biasanya hanya terdiri dari dinding batu dan pagar kayu runcing. Pada umumnya, kastel terletak di puncak gunung yang terpencil dan menguntungkan secara strategis dan hanya ditempati pada saat perang.
Sebaliknya, Kastel Azuchi terletak di puncak bukit kecil dan digunakan sebagai tempat tinggal oleh penguasa dari kelas samurai itu.
Kastel Azuchi memiliki beberapa fitur yang nantinya menjadi ciri semua kastel yang dibangun pada periode ini.
Pertama, kastel ini memiliki dinding setebal 5 sampai 6 meter. Dinding tebal itu terbuat dari batu granit besar yang dipasang dengan hati-hati tanpa menggunakan mortar. Sisa-sisanya masih bisa dilihat hari ini.
Kedua, bangunan utama jauh lebih tinggi daripada benteng yang pernah dibangun sebelumnya. Dalam bahasa Jepang, bangunan utama di kastel disebut tenshu. Tenshu sangat berbeda dengan struktur di kastel-kastel Eropa. Di Azuchi, tenshu adalah bangunan tujuh lantai yang terbuat dari kayu dengan dinding luarnya dilapisi plester.
Lantai paling atas berbentuk segi delapan. Serangkaian atap yang menjorok melindungi dinding dari hujan.
Kastel Azuchi memiliki ruang audiensi, ruang pribadi, kantor, dan perbendaharaan. Semuanya didekorasi dengan mewah. Sayangnya, setelah Nobunaga dibunuh pada tahun 1582, bangunan kastel dihancurkan. Kini, banyak perdebatan di kalangan sejarawan modern mengenai seperti apa sebenarnya Kastel Azuchi.
Tampaknya Nobunaga membangun Kastel Azuchi terutama karena alasan politik guna mendukung cita-citanya menjadi penguasa Kekaisaran Jepang. Alih-alih untuk keperluan militer, kastel itu dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatannya.
Tujuan ini juga tercermin dalam posisi kastel tepat di sebelah timur Kyoto. Di sana, terdapat tiga jalan penting yang menghubungkan ibu kota dengan Jepang timur.
Setelah kematian Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, salah satu daimyo bawahannya, menyelesaikan sebagian besar reunifikasi Kekaisaran Jepang. Hideyoshi juga membangun sejumlah kastel besar, termasuk di Osaka dan Fushimi dekat Kyoto.
Tokugawa Ieyasu dan Kastel Edo
Periode kedua dalam sejarah pembangunan kastel Jepang dimulai pada tahun 1600 saat Pertempuran Sekigahara. Pembangunan itu berakhir pada tahun 1615 dengan kematian Toyotomi Hideyori dan penghancuran Kastel Osaka.
Pada tahun 1590, Ieyasu memindahkan markas besarnya dari Jepang tengah ke wilayah Kanto. Di sana ia memulai pembangunan sebuah kastel di sebuah desa nelayan kecil bernama Edo (sekarang Tokyo).
Setelah menjadi shogun, ia dengan cepat memperluas konstruksi dan membangun kastel terbesar dalam sejarah Kekaisaran Jepang. “Kastel Edo tidak hanya besar tetapi juga rumit,” ungkap Squires.
Lahannya dibagi menjadi berbagai benteng yang dikelilingi parit dan dinding batu besar. Di tembok ini, berbagai menara dan rumah jaga dibangun. Setiap benteng dapat dicapai melalui jembatan kayu dengan gerbang di kedua sisinya.
Keliling tembok mencapai ukuran sekitar 16 kilometer. Kota Edo tumbuh di sekitar kastel. Keshogunan Tokugawa digulingkan pada tahun 1868 dan kelas samurai pun menghilang dari Kekaisaran Jepang. Setelah itu, Kastel Edo menjadi rumah keluarga Kekaisaran Jepang. Kastel Edo pun berganti nama menjadi Istana Kekaisaran.
Lahan Istana Kekaisaran saat ini hanya berukuran sekitar sepertiga luas lahan kastel aslinya. Namun, parit dan dinding batunya mengingatkan betapa luasnya Kastel Edo.
Selain Kastel Edo, Ieyasu juga membangun sejumlah kastel lainnya, seperti Kastel Nagoya dan Kastel Nijojo di Kyoto. Pada periode ini, daimyo lainnya juga membangun istana. Di antaranya adalah Kato Kiyomasa yang membangun Kastel Kumamoto serta Ikeda Terumasu yang membangun Kastel Himeji. Sedangkan Mori Terumoto membangun Kastel Hagi.
Kota-kota berkembang di sekitar kastel. Kota kastel (jokamachi) menjadi salah satu ciri khas pembangunan perkotaan pada zaman Edo.
Akhir pembangunan kastel oleh kelas samurai di Kekaisaran Jepang
Periode terakhir pembangunan kastel oleh kelas samurai berlangsung dari tahun 1615 hingga 1638 di Kekaisaran Jepang.
Segera setelah kehancuran Kastel Osaka, Ieyasu menerapkan sejumlah kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat kendali Tokugawa atas kekaisaran. Beberapa di antaranya berdampak langsung pada konstruksi kastel. Sejak saat itu, daimyo hanya diperbolehkan memiliki satu kastel di wilayahnya dan yang lainnya harus dibongkar.
Kastel yang ada hanya dapat diperbaiki dengan persetujuan Tokugawa dan ada larangan untuk membangun yang baru. Artinya, pada periode ini, satu-satunya pembangunan kastel yang dilakukan adalah proyek yang dilakukan oleh klan Tokugawa sendiri. Hal ini termasuk pembangunan kembali Kastel Osaka dan kelanjutan pengembangan Kastel Edo. Kastel Edo akhirnya selesai pada tahun 1638.
Dengan datangnya perdamaian dan larangan konstruksi baru, kastel pun mengalami penurunan. Selama periode Edo, banyak daimyo mengalami kesulitan keuangan. Pemeliharaan kastel juga mahal, selain itu, kastel pun tidak terlalu bermanfaat.
Seiring waktu, gempa bumi, erosi, sambaran petir, topan, dan kebakaran menghancurkan puluhan tenshu, ratusan gerbang dan menara pengawas. Pada tahun 1657, misalnya, api menghancurkan tenshu Kastel Edo. Pada tahun 1660, petir menyulut gudang mesiu di Kastel Osaka dan kastel tersebut terbakar.
Ketika kastel rusak karena alam, sebagian besar tidak dibangun kembali.
Nasib kastel setelah Restorasi Meiji
Setelah Restorasi Meiji, sistem politik Tokugawa dihapuskan. Daimyo kehilangan posisinya dan kepemilikan banyak kastel diserahkan kepada pemerintah pusat yang baru.
Karena tidak lagi berfungsi, kastel dipandang sebagai simbol masa lalu. Banyak yang dihancurkan atau ditinggalkan begitu saja.
Pada tahun 1872, pemerintah melakukan survei untuk mengetahui mana yang layak dipertahankan dan mana yang bisa dimusnahkan. Oleh pemerintah baru, kastel digunakan untuk tujuan propaganda. Keberadaan kastel membantu mempromosikan gagasan bahwa tentara Jepang modern mewarisi tradisi samurai.
Dengan berlalunya waktu, orang-orang yang lahir sebelum Restorasi Meiji berangsur-angsur mati. Periode Edo dipandang sebagai periode sejarah dengan sedikit signifikansi politik kontemporer. Ketika hal ini terjadi, kastel mulai dipandang sebagai elemen penting dalam warisan budaya Jepang.
Sejarawan mulai melakukan penelitian tentang kastel dan muncullah gerakan untuk melestarikan kastel yang tersisa. Mencerminkan semangat baru ini, pada tahun 1931, tenshu Kastel Osaka dibangun kembali dengan beton.
Tenshu di Kastel Hiroshima dan Nagoya dihancurkan selama Perang Dunia II. Namun, ketika perekonomian Kekaisaran Jepang pulih pada periode pasca perang, terdapat gerakan untuk membangun kembali lebih banyak tenshu.
Selain itu, kastel menjadi kebanggaan masyarakat setempat dan tempat wisata populer. Bagi wisatawan asing, perjalanan ke Jepang belum lengkap tanpa mengunjungi kastel peninggalan masa lalu.