Nationalgeographic.co.id—Samurai dan ninja adalah kelompok pejuang yang paling terkenal dalam sejarah Kekaisaran Jepang. Tapi, selain kedua kelompok itu, ada biksu pejuang yang juga terlibat dalam pertarungan dan konflik di masa lalu. Mereka adalah sohei dan yamabushi.
Organisasi keagamaan melatih para biksu untuk menjalani gaya hidup pertapa. Di saat yang sama, para biksu itu terlibat dalam konflik kekerasan dengan menjadi pejuang yang hebat. Sama seperti samurai dan ninja di Kekaisaran Jepang.
Biksu sohei sangat religius. Di sisi lain, mereka dianggap sebagai pejuang yang menakutkan. Yamabushi adalah biksu pejuang misterius. Mereka adalah pengembara gunung yang mencari kekuatan spiritual dan supernatural. Dalam beberapa kasus, yamabushi bisa menjadi sangat kejam dan berbahaya.
Sohei, biksu pejuang di era feodal Kekaisaran Jepang
Sohei adalah biksu pejuang yang berpengaruh pada abad pertengahan dan feodal di Kekaisaran Jepang. Para biksu pejuang ini mudah dikenali. Mereka mengenakan kerudung putih dan memiliki kepala yang dicukur. Sohei pertama kali muncul pada Periode Heian dari tahun 794 hingga 1185.
Periode Heian adalah periode dalam sejarah Kekaisaran Jepang ketika agama Buddha, Taoisme, dan pengaruh Tiongkok lainnya berada pada puncaknya.
“Alasan mengapa sohei menjadi pejuang adalah kekuasaan dan kendali,” tulis Ellen Lloyd di laman Ancient Pages. Para biksu pejuang memainkan peran penting ketika pertikaian politik yang sengit mengenai siapa yang pantas berada di posisi puncak. Pertikaian itu terjadi di kuil-kuil yang berbeda dan sub-sekte agama Buddha yang berbeda.
Pada abad ke-10, Kaisar Jepang dan pemerintahannya masih mempunyai kekuasaan yang besar. Kekuasaan ini termasuk menunjuk biksu mana yang akan menjalankan kuil tertentu. Namun, terjadi perpecahan faksi di kalangan biksu Buddha. Perpecahan dan politik istana menyebabkan anggota faksi ditunjuk sebagai kepala kuil yang dikendalikan oleh faksi saingan.
Perselisihan antara dua kuil menyebabkan pembentukan pasukan biksu di Kuil Yasaka di Kyoto. Pada akhirnya, muncul pertarungan antara kedua kelompok.
Terkadang pertikaian berakhir, dan terjadilah perdamaian. Namun konflik baru muncul dan biksu pejuang pun berperang lagi.
Sohei menggunakan berbagai macam senjata. Pedang yang paling umum adalah tachi, pedang tradisional yang dipakai oleh para samurai di Kekaisaran Jepang.
Para biksu pejuang juga menggunakan pisau, belati, dan kanabo yang berat. Kanabo adalah sebuah tongkat besar yang ditempa dari besi padat.
Sebagian besar sohei merupakan pejuang ulung. Seperti samurai, sohei menguasai pertarungan dengan pedang, menunggang kuda, dan menggunakan busur dengan sempurna.
Pada titik tertentu, sohei hidup berdampingan dengan samurai pada periode yang sama.
Pada puncak kekuasaannya, sohei bahkan mampu melawan Oda Nobunaga dan Ieyasu Tokugawa di wilayah mereka. Padahal keduanya merupakan samurai pemersatu Kekaisaran Jepang yang legendaris.
Namun sohei pun ditumpas oleh dua samurai legendaris itu. Dengan demikian, sohei pun berakhir bersamaan dengan terbentuknya Keshogunan Tokugawa di Kekaisaran Jepang.
Yamabushi, biksu pejuang dan pengembara gunung yang mencari kekuatan spiritual
Yamabushi yang misterius adalah biksu pejuang dan pengembara gunung yang mencari kekuatan spiritual dan supernatural. Kelompok ini muncul pada abad ke-8 dan ke-9 di Kekaisaran Jepang.
Sebagian besar dari yamubushi biasanya hidup menyendiri. Namun kadang-kadang membentuk konfederasi dan asosiasi longgar dengan kuil-kuil tertentu.
Yamabushi juga terkadang berpartisipasi dalam pertempuran bersama samurai dan sohei.
Keyakinan mereka didasarkan pada potongan-potongan kepercayaan yang berbeda. Yamabushi percaya bahwa untuk mencapai pencerahan spiritual, seseorang harus memiliki hubungan dekat dengan alam dalam jangka waktu yang lama.
Mereka juga percaya bahwa berkomunikasi dengan alam akan memberi seseorang kekuatan supernatural. Selama perjalanan jauh mereka, yamabushi sering kali harus membela diri. Oleh sebab itu, mereka dilatih seni bela diri untuk melindungi dirinya dari serangan musuh.
Praktik Yamabushi biasanya berakar pada alam dan sering kali mencakup ikut serta dalam praktik penyangkalan diri pertapa.
Praktik-praktik ini dapat berupa perjalanan pegunungan yang melelahkan, meditasi di bawah derasnya air terjun, dan bahkan melompati kobaran api. Dengan menjauhkan diri dari kesenangan dunia, masyarakat, dan memusatkan perhatian pada alam, yamabushi dapat meninggalkan diri duniawinya. Pada akhirnya, yamabushi bisa mencapai pencerahan, mengakhiri siklus kelahiran kembali.
“Yamabushi juga menguasasi berbagai seni bela diri dan teknik bertahan hidup,” tambah Lloyd. Semua itu dapat membantu meningkatkan kesejahteraan fisik, mental dan spiritual. Oleh karena itu, yamabushi dikenal sebagai pejuang hebat di Kekaisaran Jepang.
Ketika reputasi yamabushi meningkat, sebagian anggota yamabushi masuk dalam hierarki istana. Para biksu dan kuil mulai mendapatkan pengaruh politik. Yamabushi membantu Kaisar Go-Daigo dalam upayanya untuk menggulingkan Keshogunan Kamakura. Saat itu, mereka membuktikan keterampilan bertarung untuk menghadapi samurai profesional.
Beberapa abad kemudian, pada Periode Sengoku, yamabushi dapat ditemukan di antara para penasihat dan prajurit dari semua penguasa.
Saat ini, Yamabushi terus melayani masyarakat seperti yang mereka lakukan di masa lalu di Kekaisaran Jepang. Tidak lagi melalui kematian dalam pertempuran, yamabushi hidup dalam damai dan memberikan bantuan kepada siapa pun yang membutuhkannya.