Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2015, juga ditetapkan batas minimal hasil tangkapan lobster, rajungan, dan rajungan masing-masing adalah 8 cm, 15 cm, dan 10 cm.
Peraturan ini memberikan ruang bagi regenerasi spesies dan pemulihan stok liar. Nelayan hanya dapat menangkap dan pedagang hanya dapat memasarkan spesies mahal ini dalam ukuran yang lebih besar.
Peraturan ini telah diterapkan secara efektif di sebagian besar Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Spesies lain yang dilindungi adalah pari manta yang terkenal secara global.
Manta samudra (Manta birostris) dan manta karang (Manta alfredi) dilarang ditangkap dan diperdagangkan berdasarkan Keputusan Menteri No 4 tahun 2014.
Namun peraturan tersebut belum diterapkan dengan baik di beberapa wilayah pesisir, khususnya di kalangan masyarakat pesisir Pulau Lombok.
Dilatarbelakangi oleh tingginya harga ikan di pasar Tiongkok, ikan-ikan tersebut ditangkap dan diperdagangkan secara ilegal, terkadang ditutupi dengan motif tradisional.
Padahal di wilayah lain, khususnya di Raja Ampat, Teluk Cendrawasih, dan Kaimana, Papua Barat, ikan ini dilindungi oleh masyarakat setempat dan dijadikan objek wisata selam yang menarik.
Masih banyak lagi spesies yang dikategorikan sebagai terancam punah, endemik, dan terancam punah. Beberapa spesies bahkan terdaftar dalam appendix-II CITES, artinya perburuan dan perdagangan spesies tersebut harus dikendalikan dan dibatasi.
"Secara alamiah wilayah pesisir dan sumber daya yang dimilikinya mempunyai daya dukung dan batas tertentu," tulis peneliti.
"Oleh karena itu, sumber daya alam harus dimanfaatkan sebagai barang ekonomi dengan cara yang tepat sehingga sebagian sumber daya dapat diambil tanpa membahayakan kapasitas sumber daya untuk berkembang biak dan memperbaruinya."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.