Nationalgeographic.co.id - "Pak, datuk itu apa, sih, Pak? Aku kok pengen tahu," ungkap Makmun (52), membuka kisah pengalamannya bertemu langsung dengan gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus). Ia adalah warga Desa Lubuk Umbut, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Riau.
Pertanyaan tentang datuk itu dilontarkan oleh anaknya selepas maghrib. Namun, siapa yang menyangka bahwa itu adalah awal dari sebuah pengalaman luar biasa dengan sang gergasi rimba.
Setengah jam setelahnya, tiba-tiba rumah Makmun dipenuhi nyamuk. Suasana yang tidak biasa itu, langsung membuat Makmun gelisah.
Ia kemudian mengambil senter untuk melihat apa yang terjadi di sekitar rumahnya. Saat itu, fasilitas listrik dari negara belum masuk ke desanya.
"Ada banyak nyamuk. Buka pintu, ternyata saya senter, ada gajah!" Ungkapnya dengan mata terbelalak. Namun, perjumpaan malam itu tidak ia katakan kepada anaknya. Sebab, ia merasa takut dan ingin melindungi keluarganya.
Keesokan harinya, Makmun menceritakan apa yang ia alami kepada salah seorang warga tempatan atau warga yang lebih dulu tinggal di Lubuk Umbut. Diceritakanlah apa yang terjadi malam itu, termasuk tentang datuk.
Dari situlah, ia baru mengetahui bahwa ‘Datuk’ atau ‘Datuk Gedang’ adalah nama lain untuk gajah di tanah Sumatra. Datuk juga memiliki makna yang dituakan atau dihormati, sehingga nama itu tidak boleh diucapkan sembarangan. Sebagian masyarakat percaya, jika nama itu diucapakan, maka sang gajah akan datang.
Pengalamannya berjumpa dengan gajah sebenarnya juga bukan tanpa sebab, menurut sains. Elephant never forget atau gajah tidak pernah lupa adalah pepatah yang sering kita dengar tentang gajah.
Apakah itu sekadar fiksi belaka? Nyatanya, itu memang benar-benar terjadi. Menurut studi, gajah cenderung mengikuti jalur yang sama selama bertahun-tahun untuk menuju sumber air atau makanan. Ketika manusia membuka lahan atau membangun permukiman tepat di jalur mereka, interaksi negatif manusia dan gajah akan terjadi.
Sore itu, Makmun yang sedang berteduh di bawah rindangnya pohon sawit, melanjutkan kisahnya. Sambil mengernyitkan dahi, ia mencoba memanggil ulang memori-memori masa lampaunya. Merangkai kembali kisah pengalamannya bisa menetap di Bumi Lancang Kuning dan hidup berdampingan dengan gajah.
15 tahun silam, Makmun merantau dari Rantau Prapat, Sumatra Utara, ke Desa Lubuk Umbuk, Riau. Sejak awal, ia mengaku tidak mengetahui jika tempat tinggalnya berada di kawasan jalur perlintasan gajah.
“Saya beli lahan dari masyarakat tempatan, alhamdulilah saya dikasih lahan. Kalau tentang masalah gajah saya tidak tahu, kalau di Riau ini ada gajah. Setelah saya bertempat tinggal di Desa Lubut Umbuk ini, saya baru mengenal gajah,” ungkapnya
Sehingga, saat mengalami perjumpaan dengan gajah, ia hanya menjaga jarak dan membiarkannya lewat. Terkadang, ada pula gajah yang masuk desa dan merobohkan pondok.
Makmun pun sering bercerita dengan warga tempatan tentang apa yang ia lihat atau alami dengan gajah. Bagi warga tempatan, sebetulnya gajah itu tidak jahat, tetapi mencari makan.
Mereka pun menyarankan Makmun untuk tidak khawatir dan menawarkan bantuan untuk mengusir gajah. Kala itu, pengusiran hanya sekadar dengan teriakan suara atau menyalakan api unggun.
Namun, saat ia memulai usaha perkebunan kelapa sawit, aktivitas mereka mulai bersentuhan dengan gajah. Di daerah Sibanga, ia mulai sering mendengar kabar bahwa gajah suka makan sawit.
Keputusannya untuk menetap di Riau, membuat Makmun berpikir bahwa sampai kapan pun ia akan hidup bersama gajah. Ia kemudian berinisiatif untuk mengenal gajah dengan mengunjungi Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas.
“Saya berangkat tidak dibarengi sama surat sepotong dari desa. Alhamdulilah, ketika itu saya diterima dengan baik di sana,” ungkapnya.
Di PLG Minas, Makmun belajar segala hal tentang gajah selama 15 hari. Ia juga memperoleh koneksi, jika suatu saat membutuhkan informasi atau bantuan terkait gajah, bisa langsung menghubungi mereka.
Dari sana, ia juga dapat membedakan perilaku antara gajah jinak dan gajah liar. Menurutnya, manusia akan semakin sulit mengontrol gajah liar, sebab mereka juga beradaptasi. Misalnya, saat dilakukan blokade untuk mengusir gajah.
“Gajah liar dulu kalau ketemu sama orang, lari. Mau datang ke kebun, kita teriakin, kita tepuk-tepuk gini lari. Karena lama-kelamaan sering ketemu mungkin, ya. Dia semakin berani sama manusia,” terangnya.
Hingga kini, Makmun dan warga setempat hanya melakukan blokade dengan bunyi-bunyian keras jika gajah memasuki desa. Mereka tidak melakukan aksi menyakiti seperti meracun atau memasang jerat.
Bersama warga, Makmun terus mengembangkan cara untuk hidup berdampingan dengan gajah. Mereka juga mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk mitigasi atau peringatan dini bila terjadi interaksi negatif manusia dan gajah, salah satunya oleh tim Rimba Satwa Foundation (RSF).
Saat ini, tim RSF menggunakan teknologi GPS Collar untuk memantau pergerakan gajah dan perilaku dari populasi gajah di habitatnya terkini. Saat gajah terdeteksi akan memasuki permukiman atau kebun, mereka akan mengirim informasi tersebut kepada warga melalui telepon atau pesan WhatsApp.
Dengan begitu, warga dapat bersiap untuk melakukan blokade atau pengusiran gajah dengan bunyi-bunyian keras. Menurut pendiri RSF, Zhulhusni Syukri (40), pemasangan GPS Collar dapat menjadi peringatan dini dalam mitigasi interaksi negatif dengan gajah. Sejauh ini, penggunaannya dinilai efektif.
Hal ini senada dengan yang dirasakan oleh Makmun. Sebelum ada GPS Collar, ia dan warga hanya bisa mengetahui kedatangan gajah dari laporan desa lain. Semuanya hanya bisa diketahui dengan mengira-ngira.
“Gajah sebelum datang ke kampung kita, dia sudah melewati kampung lain. Nah, kita kan dengar kabar. Kalau sudah ada di Desa Bencah Umbai, KM 85, kalau ke Lubuk Umbut itu berarti [tibanya] hitungan menit,” terangnya.
Cara lain mengetahui kedatangan gajah adalah mendengar atau melihat letusan mercon di langit. Sebab, saat itu, kualitas sinyal telepon atau internet di desa masih kurang baik.
“Kode kita hanya mercon. Tembakkan ke atas, kita langsung meluncur ke arah suara tadi,” ungkapnya.
Kini, seiring dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi di desa, informasi kedatangan gajah dengan GPS Collar semakin mudah. Saat tim RSF mendeteksi gajah akan masuk ke permukiman atau kebun, mereka akan mengirimkan informasi tersebut kepada warga melalui grup WhatsApp.
Kelebihan GPS Collar tak hanya sebagai peringatan dini, tetapi juga keakuratannya karena disertai informasi titik keberadaan gajah. Sehingga warga dapat langsung bersiap menuju lokasi untuk melakukan blokade.
Makmun berharap, warga dapat tetap hidup berdampingan dengan gajah. Sebab, ia sadar bahwa gajah telah lebih dahulu menghuni hutan. Manusialah yang harus berkompromi dengan gajah, supaya keduanya dapat hidup berdampingan.
"Datuk, kalau mau memang mau makan. Makanlah. Cuman itu hak kami, jangan dihabiskan," ungkapnya jika sang datuk telanjur merangsek ke perkebunan.