Nationalgeographic.co.id—Sejarah Kekaisaran Jepang dipenuhi dengan segala macam peristiwa penting yang membentuk budaya Jepang. Salah satunya adalah peperangan yang terjadi di Kekaisaran Jepang. Perang-perang di Kekaisaran Jepang beberapa kali mengubah keyakinan dan ideologi bangsa.
Perang juga membuka jalan bagi kekaisaran untuk menghasilkan prajurit. Kelas prajurit samurai dan kabuki adalah yang paling terkenal dalam sejarah Kekaisaran Jepang. Salah satu samurai sekaligus pemanah paling mematikan dalam sejarah Kekaisaran Jepang adalah Nasu No Yoichi.
Siapa Nasu No Yoichi?
“Nasu No Yoichi dikenal karena keterampilan memanahnya,” tulis Minami Nagai di laman Yabai. Awalnya, Nasu No Yoichi adalah seorang samurai yang mengabdi pada Klan Minamoto. Sebagai seorang pejuang atau prajurit, samurai Kekaisaran Jepang dikenal sebagai pejuang serba bisa.
Samurai dilatih untuk bertarung dengan terampil menggunakan pedang dan juga busur. Keahlian ini dibutuhkan bila mereka terjebak dalam pertarungan jarak jauh. Samurai juga dilatih untuk bertarung dengan berjalan kaki dan menunggang kuda. Seorang pejuang harus siap menghadapi medan apa pun.
Nasu No Yoichi lahir pada tahun 1169 dan mengenal kehidupan perang sejak usia sangat dini. Ia baru berusia hampir 16 tahun ketika terjun di medan pertempuran. Nasu No Yoichi memerintah sebagai daimyo atau penguasa feodal Kastel Tottori setelah Perang Genpei yang terkenal. Konon ia memerintah dengan adil.
Sayangnya, pemerintahannya tidak berlangsung lama. Nasu No Yoichi kehilangan gelarnya karena kalah dalam kompetisi berburu melawan sesama anggota Klan Minamoto, Kajiwara Kagetoki.
Perang yang melambungkan nama Nasu No Yoichi di Kekaisaran Jepang
Perang Genpei merupakan salah satu perang penting yang terjadi di Kekaisaran Jepang. Hanya dua klan yang terlibat dalam perang itu. “Namun kekuatan mereka saat itu begitu besar hingga akhirnya menggeser kendali di Kekaisaran Jepang,” tambah Nagai.
Perang Genpei disebabkan oleh perebutan dominasi istana Kekaisaran yang berlangsung selama beberapa dekade. Kedua klan ingin menguasai kekaisaran untuk mendapatkan kendali atas Kekaisaran Jepang.
Beberapa pertempuran berlanjut hingga tahun 1185. Sebagian besar pertempuran selanjutnya dimenangkan oleh klan Minamoto.
Pada bagian akhir perang pula, Nasu No Yoichi secara teknis memenangkan pertempuran dengan satu anak panah. Satu panah itu tentu saja menjatuhkan mental pasukan musuh. Hal ini terjadi pada pertempuran Yashima dan tercatat dalam beberapa gulungan sejarah yang mendokumentasikan Perang Genpei.
“Kemenangan tersebut merupakan momen monumental bagi Klan Minamoto,” ungkap Nagai.
Pasukan Klan Taira berada di kapal angkatan laut mereka dan kekuatan klan Minamoto mengepung mereka di pantai. Sayangnya, Klan Minamoto tidak dapat melancarkan serangan apa pun karena mereka dirugikan akibat medan dan kapal yang dimiliki klan Taira.
Menurut Heiki Monogatari, dokumen sejarah Perang Genpei, Klan Taira merasa percaya diri karena posisinya itu. Mereka memasang kipas angin di atas tiang di kapalnya. Klan Taira melakukannya untuk menantang pasukan Minamoto untuk menyerangnya jika mereka bisa.
Ombaknya menerjang dengan keras sehingga tembakan hampir mustahil dilakukan mengingat perahu juga ikut bergerak. Klan Minamoto mengetahui pentingnya menjatuhkan kipas angin demi moral pasukan. Jadi dia meminta krunya untuk memilih pemanah terbaik di barisan mereka.
Saat itulah Yoichi yang berusia 16 tahun dirujuk dan dipanggil oleh untuk mencapai target. Yoichi melompat ke dalam air dengan menunggangi kudanya. Sang samurai muda memantapkan busur serta anak panahnya. Tanpa bergeming pada rintangan di depannya, dia menjatuhkan kipas itu dengan satu tembakan.
Tembakan itu meningkatkan moral pasukan Minamoto dan jelas menimbulkan rasa takut dan malu bagi pasukan Taira. Momen Yoichi ini mungkin tidak akan menumpahkan darah namun pengaruhnya terhadap kekuatan terbawa hingga “Pertempuran Dan-no-ura”. Pertempuran itu adalah perang yang menentukan kemenangan Minamoto atas Klan Taira dalam pertempuran laut.
Kehidupan rohani Nasu No Yoichi di Kekaisaran Jepang
Sepeninggal Minamoto no Yoritomo, Yoichi melakukan sesuatu yang semakin menunjukkan kedewasaannya. Ia menjadi biksu Buddha dari sekte Jodo Shinshu. Pilihan ini menunjukkan kedewasaan dan keunikannya sebagai pribadi. Setelah menikmati kemewahan dan perang, ia rela meninggalkan semuanya dan menyepi.
Nasu No Yoichi begitu aktif dalam kerohaniannya sehingga ia bahkan membentuk kuilnya sendiri. Kuil itu diwariskan dari generasi ke generasi di keluarganya.
Fakta menarik tentang kuil mereka adalah dulunya terdapat catatan di sana yang menunjukkan garis keturunan penerus kuil tersebut. Pada dasarnya, kita bisa menelusuri silsilah Nasu No Yoichi. Sayangnya, Perang Dunia II menghancurkan kuil tersebut.
Kisah hidup Nasu No Yoichi menarik hati sebagian besar orang Jepang. Ia dipandang sebagai pejuang dan tokoh sejarah yang hebat. Nasu No Yoichi memperjuangkan apa yang dia yakini dan kekerasan tidak mengendalikannya. Ia adalah seorang pembunuh mematikan yang berubah menjadi seorang biksu Buddha yang melayani orang-orang yang membutuhkan.