Hampir Putus Sekolah, Bung Tomo Ukir Sejarah Pahlawan Nasional

By Galih Pranata, Jumat, 10 November 2023 | 23:08 WIB
Bung Tomo yang menjadi tokoh penting dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945 hingga namanya dikenang dalam sejarah Pahlawan Nasional Indonesia. (Alex Mendoer/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Saban 10 November, diperingati Hari Pahlawan Nasional. Pahlawan-pahlawan bangsa dihadirkan kembali marwahnya untuk memberi semangat dalam meneruskan perjuangan bangsa.

Dari sekian banyak tokoh dalam sejarah pahlawan bangsa, terbesit satu nama yang menarik untuk dituliskan kembali kisahnya. Ialah Sutomo atau yang akrab dengan panggilan bung Tomo.

Meski dikenal nama besarnya dalam sejarah pahlawan Nasional, jejak perjuangannya tidak sesederhana seperti membalikkan telapak tangan. Hal itu dapat ditelusuri dari histori masa kecil dan masa mudanya.

Masa kecilnya bernama Sutomo. Ia lahir di Kampung Bluran, Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 3 Oktober 1920. Sutomo merupakan putra dari pasangan Kartawan Tjiptodjojo dan Subastita.

Ia "lahir dalam keluarga yang cukup," tulis Choirani Fika Purmeica dan tim risetnya kepada jurnal Rinontje berjudul Peranan Bung Tomo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, terbitan tahun 2023.

Maklum saja jika Sutomo hidup dalam keluarga berada atau berkecukupan, ayahnya adalah seorang priyayi dan bekerja sebagai juru tulis karesidenan. Nasab dari kakeknya pun, turut aktif dalam gerakan kepanduan.

Barangkali dari kakeknya pula, Sutomo merasakan semangat revolusi melalui organisasi kepanduan. Ia tergabung dalam KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Di samping itu, keluarga Sutomo tergolong keluarga yang sangat memerhatikan pendidikan.

Semasa kecilnya ia menempuh pendidikan di HIS (Hollands Inlandse School) dari tahun 1926-1933. Setelah ia menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat, ia pun melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Large Orderwijs) setingkat SLTP.

Dari MULO, Sutomo mulai mengenal banyak disiplin ilmu secara luas, mulai dari Matematika, Sejarah, dan ilmu lain yang dihantarkan melalui penuturan Bahasa Belanda. Selain itu, ia juga belajar Bahasa Jerman, Prancis, dan Inggris yang meluaskan wawasan linguistiknya.

Dari sekolah Belanda ini, ia sudah mulai merasakan adanya sentimen rasial dari kebijakan Belanda. Sutomo juga mulai menyadari bahwa pemerintah Belanda sangat mendiskreditkan orang pribumi.

Hal itulah yang merangsang ketajaman analisis dan kematangan berpikirnya. Nalar kritisnya mulai meningkat seiring pertambahan usia dan interaksi dengan lingkungan sekitar yang tidak berpihak padanya.

Memasuki tahun 1929, terjadi krisis ekonomi yang melanda dunia, termasuk Hindia Belanda. Konidisi keuangan keluarga Sutomo mulai terdampak. Di momen inilah pendidikannya mulai jadi nomor dua.