Nationalgeographic.co.id—Saban 10 November, diperingati Hari Pahlawan Nasional. Pahlawan-pahlawan bangsa dihadirkan kembali marwahnya untuk memberi semangat dalam meneruskan perjuangan bangsa.
Dari sekian banyak tokoh dalam sejarah pahlawan bangsa, terbesit satu nama yang menarik untuk dituliskan kembali kisahnya. Ialah Sutomo atau yang akrab dengan panggilan bung Tomo.
Meski dikenal nama besarnya dalam sejarah pahlawan Nasional, jejak perjuangannya tidak sesederhana seperti membalikkan telapak tangan. Hal itu dapat ditelusuri dari histori masa kecil dan masa mudanya.
Masa kecilnya bernama Sutomo. Ia lahir di Kampung Bluran, Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 3 Oktober 1920. Sutomo merupakan putra dari pasangan Kartawan Tjiptodjojo dan Subastita.
Ia "lahir dalam keluarga yang cukup," tulis Choirani Fika Purmeica dan tim risetnya kepada jurnal Rinontje berjudul Peranan Bung Tomo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, terbitan tahun 2023.
Maklum saja jika Sutomo hidup dalam keluarga berada atau berkecukupan, ayahnya adalah seorang priyayi dan bekerja sebagai juru tulis karesidenan. Nasab dari kakeknya pun, turut aktif dalam gerakan kepanduan.
Barangkali dari kakeknya pula, Sutomo merasakan semangat revolusi melalui organisasi kepanduan. Ia tergabung dalam KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Di samping itu, keluarga Sutomo tergolong keluarga yang sangat memerhatikan pendidikan.
Semasa kecilnya ia menempuh pendidikan di HIS (Hollands Inlandse School) dari tahun 1926-1933. Setelah ia menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat, ia pun melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Large Orderwijs) setingkat SLTP.
Dari MULO, Sutomo mulai mengenal banyak disiplin ilmu secara luas, mulai dari Matematika, Sejarah, dan ilmu lain yang dihantarkan melalui penuturan Bahasa Belanda. Selain itu, ia juga belajar Bahasa Jerman, Prancis, dan Inggris yang meluaskan wawasan linguistiknya.
Dari sekolah Belanda ini, ia sudah mulai merasakan adanya sentimen rasial dari kebijakan Belanda. Sutomo juga mulai menyadari bahwa pemerintah Belanda sangat mendiskreditkan orang pribumi.
Hal itulah yang merangsang ketajaman analisis dan kematangan berpikirnya. Nalar kritisnya mulai meningkat seiring pertambahan usia dan interaksi dengan lingkungan sekitar yang tidak berpihak padanya.
Memasuki tahun 1929, terjadi krisis ekonomi yang melanda dunia, termasuk Hindia Belanda. Konidisi keuangan keluarga Sutomo mulai terdampak. Di momen inilah pendidikannya mulai jadi nomor dua.
Demi dapat bertahan dari krisis, Sutomo turut bekerja untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Hal inilah yang membuatnya putus sekolah setelah memutuskan untuk keluar dari MULO.
Tak berselang lama, keluarganya tetap menginginkan Sutomo untuk melanjutkan sekolahnya. Ia akhirnya melanjutkan pendidikannya selevel sekolah menengah di Surabaya, yakni HBS (Hogere Burger School).
Di HBS, ia menempuh pendidikan selevel sekolah menengah selama lima tahun. Ketika bersekolah di sana, kesadaran Sutomo tentang sistem pendidikan kolonial yang berlaku diskriminatif, semakin menajam.
Sekolah sebagai wadah yang dianggap dewasa, sejatinya masih terjajah dengan stigma kelas sosial. Kaum bumiputera dianggap rendahan, sedang orang Eropa yang lebih didengar suaranya.
Terdapat banyak faktor yang membuatnya tidak nyaman dengan kondisi di HBS, dan itulah yang mendorongnya gagal untuk dapat menuntaskan pendidikannya di sekolah elit di Surabaya itu.
NAmun, kepedulian keluarganya tentang pendidikan, mendorong Sutomo untuk tetap menyelesaikan pendidikan menengahnya. Orang tuanya memahami, gagasan revolusionernya akan semakin matang dan didengar, tatkala Sutomo dapat merengkuh pendidikan tinggi.
Pelbagai cara ditempuh agar Sutomo dapat menyelesaikan studinya. Melalui korespondensi dan keterampilannya dalam tulis menulis, Sutomo berhak untuk menyandang predikat lulus dari HBS.
Selepas lulus dari HBS, kemerdekaan berpikirnya semakin melanglang buana ketika aktif dalam organisasi-organisasi pergerakan. Ia menyibukkan diri untuk andil dalam gerakan sosial kemasyarakatan, kepemudaan, dan perjuangan membela bangsa dan negara.
Dilihat dari semangat mudanya, ia sudah tergabung dalam dunia jurnalistik. Pengalaman pertamanya adalah menjadi kontributor di harian Soeara Oemoem Surabaya pada tahun 1937.
Ia mulai mencurahkan pikiran-pikiran kritisnya di surat kabar tersebut. Hingga pada tahun 1942, ketika Jepang mendarat, ia bahkan pernah dipercaya menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi kantor berita Domei.
Aktivismenya dalam pergerakan kebangsaan, membuatnya disapa bung Tomo oleh segenap rekan seperjuangannya. Setelah kemerdekaan, ia terlibat aktif dalam gelanggang politik nasional hingga terbentur peristiwa mencekam di Surabaya.
Mulanya, muncul berita mengenai mendaratnya sekutu di sejumlah titik di Indonesia. Hal itu diberitakan pertama kali oleh menteri penerangan, Amir Syarifudin dari Jakarta. Bung Tomo beserta rekanannya mulai mengusung rencana.
Persiapan Bung Tomo dalam menghadapi pasukan Inggris yang dibersamai NICA adalah dengan membentuk siaran radio. Sewaktu ia berada di Jakarta, Bung Tomo melihat bendera Belanda berkibar di tangsi-tangsi bekas milik Jepang. Hal ini membuatnya menjadi geram.
Puncaknya terjadi pada 10 November 1945, di mana pertempuran meletus sejak pukul 6 pagi. Di sana, bung Tomo mulai ambil kendali dengan mengumpulkan dan membangkitkan kobaran api bangsa Indonesia saat Sekutu merangsek masuk ke Surabaya.
Pidato menggelora dan pekikan takbir yang membahana, menjadi rekaman paling bersejarah dan heroik dalam bingkai sejarah pahlawan nasional Indonesia. Meletup-letup semangat bangsa untuk mengusir hingga membuat pasukan sekutu kewalahan.
Semakin mencekam ketika Inggris mengeluarkan serangan udara yang meluluhlantakkan Surabaya selama 3 jam. Pertempuran Surabaya dikenang dalam sejarah pahlawan nasional kita setelah terbunuhnya Mallaby dari pihak sekutu, meski tak sedikit korban jiwa berjatuhan dari pihak bangsa sendiri.
Pertempuran dramatis ini menjadi lecutan perlawanan besar-besaran rakyat Indonesia yang berusaha mengusir dan menjaga batas-batas teritorial Indonesia dari tangan imperialis.
Surabaya tak pernah mati meski sempat luluhlantak karena api semnagta rakyatnya untuk melawan belum padam. Lebih dari itu, semangat revolusioner bung Tomo juga akan selalu dikenang dalam sejarah pahlawan nasional.