Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah Indonesia yang dituturkan dalam buku pelajaran, Kerajaan Sriwijaya diserang oleh Kerajaan Chola dari India pada abad ke-11. Serangan ini membuat kerajaan maritim di Asia Tenggara tersebut berada di bawah kekuasaan Chola.
Kerajaan Chola berlokasi di India selatan yang berdiri lebih tua dari Sriwijaya, sekitar awal 200 M. Awalnya, kerajaan ini adalah suku dari bangsa Tamil yang terus meluas di selatan India hingga Sri Lanka. Pada masa penyerbuannya ke Asia Tenggara, kerajaan ini dipimpin oleh Rajendra Chola (971—1044).
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya punya kuasa yang luas di lautan dibandingkan daratan. Pada masa keemasannya, Sriwijaya memiliki kuasa yang luas dari Pulau Sumatra, Semenanjung Melayu, Pulau Jawa, dan Thailand selatan.
Kerajaan ini didirikan pada 671 M oleh Sri Jayanasa (Dapunta Hyang). Sementara saat Kerajaan Chola menyerang, Sriwijaya dirajai Sri Maharaja Sangrama-Vijayottungga Warmadewa dari wangsa Sailendra.
Ada banyak teori mengapa Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dalam sejarah Indonesia dan India. Disebutkan, Sriwijaya yang berkuasa di perairan Asia Tenggara punya kontrol terhadap jalur perdagangan yang sangat menguntungkan perekonomiannya.
Pelabuhan-pelabuhan internasional Kerajaan Sriwijaya dipenuhi dengan ragam benda yang menunjukkan kemasyhuran. Rempah-rempah seperti lada hitam, aneka wangian seperti air mawar dan parfum, obat-obatan, serta hewan eksotis dapat dengan mudah ditemukan.
Banyak pedagang dari India selatan, Benggala, Tiongkok, dan Arab melintasi perairan Kerajaan Sriwijaya karena kemakmurannya. Hal ini membuat masyarakat Kerajaan Sriwijaya memiliki ragam etnis, bangsa, dan agama, dalam sejarah Indonesia.
Hubungan Kerajaan Sriwijaya cukup baik dengan kerajaan-kerajaan benua Asia lainnya, termasuk di India seperti Chola dan Pala. Raja Sriwijaya bernama Sri Maharaja Maravijayottungga Warmadewa dari wangsa Sailendra pernah mengunjungi India, dan membangun vihara Chudamani di kota pelabuhan Nagapattinam (kini berada di Negara Bagian Tamil Nadu).
Selain itu, pada abad kesembilan dan kesepuluh, tercatat bahwa Kerajaan Sriwijaya sangat berhubungan baik dengan India. Pada 860 M, Raja Balaputradewa membangun biara di Universitas Nalada, di wilayah Kerajaan Pala saat itu.
Universitas itu bahkan dibilang salah satu pusat studi agama Buddha tertua di India, tetapi pernah tutup selama 800 tahun. Hubungan akademis dan agama ini cukup wajar, mengingat Kerajaan Sriwijaya juga merupakan pusat pembelajaran agama Buddha tebesar di Sumatra pada masanya.
Akan tetapi, hubungan Kerajaan Sriwijaya sangat dekat dengan Kekaisaran Tiongkok yang saat itu berada masa Dinasti Song. Hubungan ini membuat Kerajaan Sriwijaya lebih banyak berinteraksi dengan Kekaisaran Tiongkok daripada Arab dan India.
Namun, lokasi Kekaisaran Tiongkok jauh di timur dan sering menjadi tujuan akhir perdagangan internasional. Kondisi ini menempatkan Kerajaan Sriwijaya tidak hanya sekadar bandar singgah yang kosmopolit, tetapi juga sumber informasi terkait negeri-negeri jauh di barat untuk Kekaisaran Tiongkok atau sebaliknya.