Inilah Sejarah Naga, Nyata atau Hanya Makhluk Mitologi Semata?

By Hanny Nur Fadhilah, Jumat, 29 September 2023 | 10:00 WIB
Sejarah naga telah memikat kita dalam budaya yang tersebar di seluruh dunia. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sejarah naga telah memikat kita dalam budaya yang tersebar di seluruh dunia. Namun, benarkah naga pernah ada atau hanya makhluk mitologi semata?

Naga Mesopotamia Kuno

Kisah naga pertama kali muncul dalam mitologi Mesopotamia kuno. Makhluk mitologi bernama Mušḫuššu, atau ular ganas, muncul dalam teks tertulis. 

Mušḫuššu muncul dalam mitologi Sumeria dan Babilonia dan digambarkan sebagai makhluk mirip ular, bersisik, dan memiliki lidah dan kepala ular, serta cakar elang.

Yang paling menonjol, dewa Marduk sering digambarkan sebagai salah satu sosok mirip naga, yang mungkin juga mewakili dewa Tiamat yang dikalahkan. 

Makhluk drakonik ini dapat dilihat pada ukiran Gerbang Ishtar di Babilonia, yang berasal dari abad ke-6 SM. Tidak diketahui secara pasti dari mana mitos naga ini berasal, namun mitos tersebut menyebar ke seluruh wilayah.

Sementara itu, dalam Zoroastrianisme, salah satu agama tertua di Bumi, Zahhāk dianggap sebagai putra Ahriman, personifikasi roh jahat.

Jadi jelas sekali, meskipun naga banyak ditampilkan dalam mitologi Persia kuno, mereka dianggap makhluk yang sangat jahat dan dipandang sebagai pertanda buruk.

Dewa Naga Mesir Kuno 

Kisah-kisah dalam sejarah Mesir kuno juga menampilkan naga mitologi seperti dewa ular raksasa Apep, atau Apophis, yang dipandang sebagai dewa kekacauan.

Apep adalah musuh bebuyutan Ra, dewa Matahari, dan akarnya dapat ditelusuri kembali ke awal tahun 4000 SM.

Naga Tiongkok

Naga Tiongkok dihormati dalam budayanya. Naga telah lama melambangkan kekuatan dan keberuntungan, serta menandakan pengaruh terhadap cuaca, tidak seperti di budaya lain.

Naga secara luas dipandang sebagai simbol spiritual dan harmonis dalam mitologi Tiongkok. Misalnya, Kaisar Tiongkok sering menggunakan naga untuk menunjukkan kesaktiannya.

Gambaran paling awal tentang naga dalam budaya Tiongkok muncul pada era Xinglongwa (6200-5400 SM) sedangkan gambar tradisional naga kemudian berubah bentuk dan diperkuat pada masa Dinasti Shang (1766-1122 SM) dan Zhou (1046 SM– 256 SM).

Konsep naga Tiongkok terkenal dihadirkan melalui “Raja Naga Empat Lautan”. Setiap Raja Naga terhubung dengan warna dan perairan tertentu.

Misalnya, Naga Biru melambangkan timur dan musim semi, Naga Merah melambangkan selatan dan musim panas, Naga Hitam melambangkan utara dan musim dingin, dan Naga Putih melambangkan barat dan musim gugur. Terakhir, Naga Kuning dianggap sebagai hewan perwujudan Kaisar Kuning.

Naga di Jepang dan Korea

Naga adalah tokoh legendaris dalam cerita rakyat dan mitologi Jepang. Asal usul mereka merupakan campuran dari legenda dan mitos asli yang diimpor dari budaya Asia lainnya, khususnya Tiongkok.

Sejumlah cerita naga asli di Jepang, seperti Kojiki dan Nihongi, muncul pada akhir abad ke-7 Masehi.

Naga Tiongkok sangat mempengaruhi kemunculan naga Jepang. Mereka adalah makhluk ular besar dengan kaki cakar. Makhluk-makhluk ini biasanya diasosiasikan dengan perairan, curah hujan, dan dewa air.

Seperti halnya Jepang, mitologi naga Korea banyak mengambil pengaruh dari Tiongkok. Namun, berbeda dengan tradisi rakyat Eropa, naga Korea adalah makhluk baik hati yang berhubungan dengan air dan pertanian.

Dalam legenda Korea, naga sering digambarkan sebagai makhluk yang sadar dengan emosi dan merupakan pelindung negara. Legenda Raja Munmu yang ingin menjadi naga Laut Timur untuk melindungi Korea adalah contoh yang terkenal.

Naga Eropa

Naga memainkan peran penting dalam mitologi Yunani kuno, menggambarkan mereka sebagai ular besar dengan kemampuan meludah atau menghirup racun. Kata “naga” berasal dari kata Yunani “drakōn”, yang berasal dari kata Latin “draco”, yang berarti ular besar dan menyempit.

Orang Yunani kuno menulis tentang beberapa makhluk mirip ular termasuk Typhon, Ladon, Hydra, dan naga Colchian, yang dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan di hati para pahlawan besar.

Mitologi Jerman juga menggambarkan naga, yang dikenal sebagai “cacing”, sebagai ular besar berbisa, dengan sayap seperti kelelawar. Namun, perbedaan antara naga Jerman dan ular biasa sering kali kabur pada penggambaran awal, keduanya disebut sebagai “ormr” dalam mitologi Nordik atau “wyrm” dalam bahasa Inggris Kuno.

Evolusi cacing tak bersayap menjadi naga terbang berkaki empat kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh negara-negara Eropa lainnya, yang difasilitasi oleh Kristenisasi wilayah tersebut pada tahun-tahun berikutnya.

Naga dalam Suku Aztec dan Maya 

Lebih jauh ke selatan, di antara peradaban Aztec dan Maya, penggambaran naga sebagai ular berbulu ada di mana-mana. Pertama kali dipuja di Teotihuacan pada abad ke-1 SM, dewa tersebut awalnya digambarkan sebagai ular sungguhan, namun seiring berjalannya waktu, dewa ini berubah menjadi sosok yang juga memiliki ciri-ciri mirip manusia.

Suku Maya Yucatec memuja Kulkulkan, sedangkan suku Aztec kemudian memuja Quetzalcoatl, keduanya melambangkan ular berbulu, dewa dasar dalam mitologi wilayah tersebut.

Dari Mana Asalnya Mitos Naga? 

Makhluk naga yang menghembuskan api muncul dalam mitologi dan cerita rakyat di seluruh dunia, selama berabad-abad dan ribuan tahun. Sayangnya, banyak dari kisah-kisah ini tampaknya berkembang secara independen satu sama lain.

Lalu dari mana mitos-mitos tersebut berasal? Dan mengapa begitu banyak peradaban berbeda yang membentuk kisah naga mereka sendiri?

Beberapa orang berspekulasi bahwa nenek moyang kita mungkin mencoba memahami penemuan fosil, seperti tulang dinosaurus prasejarah atau kerangka paus purba.

Yang lain menduga bahwa budaya-budaya ini mendasarkan mitos mereka pada makhluk yang sudah mereka kenal – seperti komodo di Asia atau Buaya Nil yang berukuran besar di Mesir.

 Namun, pada akhirnya, kita tidak bisa benar-benar mengetahui bagaimana dan mengapa legenda naga berperan penting dalam mitologi, namun jelas bahwa legenda tersebut akan terus memikat hati dan imajinasi banyak orang, hingga generasi mendatang.