Sejarah Perang Salib Utara, Ambisi Paus Kristenisasi Penyembah Berhala

By Ricky Jenihansen, Selasa, 3 Oktober 2023 | 07:30 WIB
Perang Salib Utara atau Baltik merupakan upaya Kristenisasi dan memperoleh kakayaan di kawasan Baltik. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Tidak seperti pergerakan militer lainnya dalam sejarah Perang Salib, Perang Salib Utara atau Baltik adalah upaya militer melawan penyembah berhala atau kaum pagan. Paus dan penguasa barat memiliki ambisi untuk melakukan kristenisasi di kawasan Baltik.

Sepanjang sejarah Perang Salib pada abad ke-12 hingga ke-15, paus dan penguasa barat juga melancarkan upaya militer di Prusia, Livonia (Estonia modern) dan Lituania.

Ordo militer Kesatria Teutonik mendominasi dalam sejarah Perang Salib Utara sejak pertengahan abad ke-13 dan membentuk negara militernya sendiri di Prusia.

Meskipun ordo militer tersebut pada akhirnya melakukan kristenisasi, motif asli Kesatria Teutonik sebenarnya bukan itu. Alasan utama Kesatria Teutonik adalah untuk memperoleh tanah dan kekayaan.

Abad ke-15 menyaksikan tantangan baru di kawasan ini dari Polandia, Rusia, dan Turki Ottoman. Sehingga dalam sejarah Perang Salib Utara, setelah mencapai tujuannya, digantikan oleh peperangan sekuler.

Kristenisasi dan HartaWilayah kawasan Baltik adalah arena perang salib lainnya, selain kampanye tradisional untuk merebut tanah suci Yerusalem dan kota-kota Timur Tengah lainnya dari kendali peradaban Islam.

Upaya militer di wilayah kawasan Baltik ini telah dimulai sejak akhir abad ke-11 dan seterusnya. Wilayah kawasan Baltik adalah wilayah yang berbatasan dengan wilayah Jerman yang telah lama menjadi wilayah penyembah berhala.

Seperti halnya sejarah Perang Salib di Levant, para penguasa memanfaatkan kesempatan untuk menggabungkan dalih keagamaan dari Perang Salib.

Pasukan yang terlibat dijanjikan pengampunan dosa, di sisi lain mereka dijanjikan dengan kehausan akan perluasan wilayah dan kekayaan materi dalam bentuk tanah, bulu, ambar, dan budak.

Selain itu, catatan sejarah Perang Salib Utara pertama kali dilakukan oleh orang Saxon dan ditujukan untuk melawan kaum pagan Wends (Slavia barat).

Gerakan ini memberikan aspek baru pada gerakan Pasukan Salib, yaitu gerakan kristenisasi secara aktif daripada pembebasan wilayah yang dikuasai oleh para penyembah berhala.

Kekaisaran Jerman memiliki tradisi panjang mengirimkan misionaris Kristen ke negara-negara di perbatasan timur lautnya. Wilayah itu merupakan titik rawan perang melawan negara-negara pagan atau penyembah berhala di Eropa Timur.

Yang menambah pemicunya adalah kekejaman terhadap umat Kristiani dan pembunuhan para misionaris di wilayah-wilayah.

Pembunuhan tersebut telah dilaporkan oleh tokoh-tokoh seperti uskup agung Magdeburg pada tahun 1108. Itu ketika Perang Salib Kedua (1149-1147) diserukan oleh Paus Eugenius III (memerintah 1145 -1153)

Pada bulan Desember 1145, untuk merebut kembali Edessa di Mesopotamia Atas, banyak bangsawan Jerman lebih memilih untuk terlebih dahulu melawan para penyembah berhala.

Pilihan tersebut dianggap lebih mungkin dibandingkan berbaris untuk melawan peradaban Islam di Timur Tengah.

Sebuah pertemuan di Frankfurt pada bulan Maret 1147 memutuskan bahwa kawasan Baltik akan menjadi prioritas, dan keputusan tersebut mendapat persetujuan dari kepala biara berpengaruh Bernard dari Clairvaux.

Peta yang menunjukkan wilayah yang dikuasai oleh tatanan militer Ksatria Teutonik dan Perang Salib Utara. (Creative Commons)

Pada bulan April, Paus Eugenius III secara resmi menyatakan bahwa perang salib seperti yang terjadi di Timur Tengah akan menghasilkan pengampunan dosa bagi para pejuangnya. Paus kemudian melangkah lebih jauh dengan pernyataan intoleransi yang terkenal berikut ini:

"Kami sepenuhnya melarang, dengan alasan apa pun, gencatan senjata dilakukan dengan suku-suku ini, baik demi uang, atau demi upeti, hingga tiba saatnya, dengan pertolongan Tuhan, mereka akan berpindah agama atau dimusnahkan." (dikutip dalam Phillips, 89)

Gerakan Pasukan Salib sekarang merupakan kampanye misionaris bersenjata. Paus Eugenius bahkan menjadikan pengampunan dosa sepenuhnya jika para penyembah berhala mau masuk agama Kristen.

Pernyataan Paus yang tegas mungkin mencerminkan kesulitan tradisional dalam mengubah agama di wilayah tersebut, khususnya suku Wends.

Ada banyak contoh pengakuan iman yang kemudian dibatalkan, sikap tersebut dianggap sebagai pelanggaran yang lebih buruk daripada menjadi orang pagan.

Praktik-praktik penyembahan berhala tetap dilakukan atau bahkan dicampur dengan praktek-praktek Kristen, dan kampanye-kampanye ditinggalkan demi keuntungan moneter sementara. Sejarah Perang Salib baru ini dirancang untuk menjadi yang terakhir di Baltik.

Sejarah Perang Salib WendsBahkan sebelum pasukan Pasukan Salib berangkat, orang-orang Wends sepertinya sudah menyadari mereka akan diserang oleh Kristen barat.

Mereka menyadari bahwa masalah akan segera terjadi, sehingga melancarkan serangan pendahuluan di pelabuhan Lubeck yang dikuasai Kristen.

Antara bulan Juni dan September 1147, tentara Saxon-Denmark kemudian menyerang pemukiman pagan di Dobin dan Malchow, keduanya di timur laut Jerman modern.

Dobin menjadi lebih tenang ketika penduduknya setuju untuk dibaptis, sehingga mengakhiri pertempuran. Sementaram Malchow bernasib lebih buruk, kuilnya dengan berhala pagan dibakar dan wilayah sekitarnya dihancurkan.

Setelah pengepungan yang gagal di Demmin di Sungai Peene, target berikutnya adalah Stettin di Sungai Oder di Pomerania, namun orang-orang di sana berhasil membujuk Pasukan Salib untuk menahan serangan dengan menunjukkan salib dari tembok kota.

Gerakan militer secara keseluruhan, meskipun memiliki tujuan yang tinggi dan dukungan dari paus, tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok penyerbu tahunan yang biasa dikirim ke wilayah tersebut.

Perang Salib juga tidak terbantu oleh ketidakpercayaan yang memecah belah antara Denmark dan Saxon. Hasil akhir yang tidak seberapa adalah konversi seorang kepala suku dan perolehan barang rampasan.

Sementara itu, Pangeran Niklot (pemimpin Wends) tetap berkuasa dan meskipun ada janji masuk Kristen, rakyatnya tetap menganut praktik penyembah berhala. Tentu saja hal ini tidak seperti yang Paus Eugenius bayangkan.