Pada akhir abad ke-15, Kesultanan Mamluk mengalami perselisihan politik, pemberontakan, serta peperangan melawan Kekaisaran Ottoman dan Portugis. Masalah-masalah ini menyebabkan ketidakstabilan dan tekanan ekonomi.
“Bangkitnya Kerajaan Portugal sebagai kekuatan angkatan laut besar menjadi penyebab sakit kepala bagi para sultan Mamluk terakhir,” kata Ilias, “armada modern Portugis menguasai lautan dari Mediterania hingga India, merusak perdagangan rempah-rempah Mamluk.”
Pada awal abad ke-16, Sultan Qansuh II al-Ghawri memerintahkan pembangunan angkatan laut yang kuat untuk menandingi dominasi Portugis di laut. Namun, armada yang mahal ini kalah dalam pertempuran di Samudra Hindia. Hal ini menjadi pukulan besar bagi perekonomian kesultanan.
Portugis bukanlah satu-satunya masalah bagi Mamluk. Kekaisaran Ottoman mencapai puncak kejayaannya dan mengincar wilayah-wilayah Mamluk, terutama kota-kota suci Islam: Mekah, Madinah, dan Yerusalem serta tanah-tanah di Syam dan Mesir.
Mamluk tetap menjadi sebuah kelas di Mesir dalam kekuasaan Ottoman dan diberikan kekuasaan politik di bawah gubernur Ottoman.
Praktik pembelian budak Mamluk terus berlanjut selama berabad-abad berikutnya. Pada abad ke-17, Mamluk kembali memegang kekuasaan yang besar di Kairo. Baru pada tahun 1811 mereka tidak lagi menjadi kelas politik.
Menurut Ilias pada tahun itu juga, penguasa Mesir, Muhammad Ali Pasha, “membunuh para pemimpin Mamluk, yang mengakhiri sejarah mereka.”