Nationalgeographic.co.id—Lebih dari dua setengah abad, Kesultanan Mamluk adalah kekuatan besar di wilayah Timur Tengah. Pada abad ke-13, kesultanan ini berhasil mengusir invasi Mongol dan tentara salib. Lambat laun, Mamluk tumbuh menjadi sebuah pemerintahan dengan jutaan rakyat.
Kesultanan Mamluk menguasai tanah subur di Mesir dan Levant. Selain itu, kesultanan ini juga menguasai kota-kota suci Islam seperti Yerusalem, Mekah, dan Madinah. Harta benda ini menjadikan kesultanan sebagai salah satu kekuatan terkuat dan paling berpengaruh pada masanya.
Bangsa Mamluk: Dari Budak Menjadi Penguasa
Istilah Mamluk berasal dari bahasa Arab, yang berarti "orang yang dimiliki". Menurut Ilias Luursema, seorang penulis dan peneliti yang berfokus pada kajian Timur Tengah, Mamluk memulai hidup mereka sebagai budak dan dibeli ketika masih anak-anak.
“Karena hukum Islam melarang kepemilikan budak Muslim, Mamluk muda diimpor dari wilayah Kristen,” terang Ilias.
Ketika membuka sumber-sumber sejarah, sering disebutkan bahwa Mamluk berasal dari Kaukasia dan Turki. Namun menurut Ilias, “Mamluk dengan latar belakang Yunani, Italia, Jerman, Albania, dan Vlach juga tercatat.”
Orang Mamluk dianggap sebagai orang yang setia karena ketergantungan mereka yang mendalam pada tuan mereka. Jauh dari rumah, para Mamluk muda tidak memiliki afiliasi sosial dan politik yang dapat membahayakan kesetiaan mereka.
Karena kesetiaannya tidak diragukan lagi, para pemilik budak, termasuk sultan dan emir yang berkuasa, merasa aman untuk membekali Mamluk dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan.
Mereka dilatih dalam berbagai bidang, seperti seni bela diri, ilmu-ilmu keislaman, dan etiket istana di antara keterampilan lainnya.
Meskipun Mamluk muda secara resmi adalah budak, mereka diperlakukan sangat berbeda dari budak rumah tangga. Selain itu, mereka juga memiliki posisi istimewa dalam masyarakat.
Setelah menyelesaikan pendidikan mereka, para Mamluk dibebaskan, tetapi diharapkan untuk tetap setia kepada pelindung dan rumah tangga mereka.
Kini mereka menjadi anggota elit militer kesultanan, mereka bisa naik ke puncak kekuasaan. Beberapa sultan Kesultanan Mamluk, bahkan memulai karirnya sebagai budak.
Perlu dicatat bahwa Mamluk bukanlah sebuah kesatuan. Menurut Ilias mereka cenderung mengorganisir diri mereka sendiri berdasarkan asal etnis mereka dan siapa pelindung mereka.
“Faktor-faktor ini menentukan pakaian dan jabatan yang bisa mereka pegang Sebagai contoh, sebuah kelas mamluk Kaukasia yang berbeda yang bertempat di benteng Kairo dikenal dengan nama ‘Burgi Mamluk’, yang berarti menara dalam bahasa Arab,” jelasnya.
Bangkitnya Kesultanan Mamluk
Munculnya Kesultanan Mamluk, berkisar pada sosok Sultan Ayyubiyah As-Salih Ayyub. As-Salih menjadi penguasa Kairo pada tahun 1240 dalam konteks perjuangan politik besar dan perang melawan anggota dinasti Ayyubiyah lainnya.
As-Shalih menghabiskan tahun 1240-1249 untuk memerangi negara-negara Ayyubiyah dan tentara salib. Selama masa ini, ia menggunakan orang-orang Mamluknya, yang merupakan tulang punggung militernya.
Sebagai penghargaan, banyak Mamluk yang diberi posisi berpengaruh di kesultanan. Namun, ketika Perang Salib Ketujuh merebut kota Damietta pada tahun 1249, As-Salih merasa kecewa dengan militernya.
Ia marah dan memerintahkan lebih dari 50 komandan Mamluk untuk dieksekusi sebagai hukuman atas kekalahan tersebut.
Pada bulan November 1249, As-Shalih wafat dan tidak lama kemudian digantikan oleh putranya, al-Muazzam Turanshah.
Ketika di Mesir, Turanshah mempromosikan tentara Kurdi yang dibawanya untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Sebagai balasannya, sekelompok konspirator melakukan pembunuhan terhadap Turanshash. Pembunuhan ini dilakukan oleh seorang pemimpin Mamluk terkemuka, Baibars.
“Setelah kematian Turanshah, seorang komandan Mamluk bernama Aybak menikahi janda As-Shalih. Ia meninggalkan mahkota demi Aybak pada 1250, sebuah tindakan yang secara resmi mendirikan Kesultanan Mamluk,” jelas Ilias.
Runtuhnya Kesultanan Mamluk
Pada akhir abad ke-15, Kesultanan Mamluk mengalami perselisihan politik, pemberontakan, serta peperangan melawan Kekaisaran Ottoman dan Portugis. Masalah-masalah ini menyebabkan ketidakstabilan dan tekanan ekonomi.
“Bangkitnya Kerajaan Portugal sebagai kekuatan angkatan laut besar menjadi penyebab sakit kepala bagi para sultan Mamluk terakhir,” kata Ilias, “armada modern Portugis menguasai lautan dari Mediterania hingga India, merusak perdagangan rempah-rempah Mamluk.”
Pada awal abad ke-16, Sultan Qansuh II al-Ghawri memerintahkan pembangunan angkatan laut yang kuat untuk menandingi dominasi Portugis di laut. Namun, armada yang mahal ini kalah dalam pertempuran di Samudra Hindia. Hal ini menjadi pukulan besar bagi perekonomian kesultanan.
Portugis bukanlah satu-satunya masalah bagi Mamluk. Kekaisaran Ottoman mencapai puncak kejayaannya dan mengincar wilayah-wilayah Mamluk, terutama kota-kota suci Islam: Mekah, Madinah, dan Yerusalem serta tanah-tanah di Syam dan Mesir.
Mamluk tetap menjadi sebuah kelas di Mesir dalam kekuasaan Ottoman dan diberikan kekuasaan politik di bawah gubernur Ottoman.
Praktik pembelian budak Mamluk terus berlanjut selama berabad-abad berikutnya. Pada abad ke-17, Mamluk kembali memegang kekuasaan yang besar di Kairo. Baru pada tahun 1811 mereka tidak lagi menjadi kelas politik.
Menurut Ilias pada tahun itu juga, penguasa Mesir, Muhammad Ali Pasha, “membunuh para pemimpin Mamluk, yang mengakhiri sejarah mereka.”