Membayangkan Alam Pulau Flores Purba Saat Homo floresiensis Tersebar

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 6 Oktober 2023 | 07:00 WIB
Liang Bua, gua di Flores, tempat ditemukannya Homo floresiensis yang dijuluki sebagai hobbit. (Felix Dance/Wikimedia Commons)

Kenyataan bahwa H. floresiensis adalah manusia purba yang berbeda dari yang lainnya juga dikukuhkan dengan temuan di Filipina. Kerangka manusia kerdil di sana dinamai Homo luzonensis yang sangat mungkin, menurut para arkeolog, berhubungan dengan manusia katai Flores.

"Umur [H. luzonensis] ini tentu mirip dengan yang didapatkan di Liang Bua. Sehingga, dan Homo luzonensis memiliki umur yang sama," jelas Yahdi Zaim, Professor of Paleontology and Sedimentology Institut Teknologi Bandung yang pernah terlibat dalam penelitian langsung.

"Keberadaan Homo floresiensis dan Homo luzonensis menimbulkan permasalahan dalam evolusi, terutama mengenai asal usul dan jalur evolusinya: dari mana asalnya?"

Yahdi menuturkan bahwa kedua manusia katai secara morfologis dan bentuk memiliki kedekatan dengan Homo erectus. Lebih dari 1,5 juta tahun silam, genus ini telah bermigrasi ke Asia Tenggara. Migrasi mereka pun terbatas pada perjalanan darat, sebelum Paparan Sunda tenggelam pada 14.000-7.000 tahun yang lalu.

Ragam senjata berbahan batu yang digunakan oleh H. floresiensis untuk berburu dan menyelamatkan dirinya dari predator. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Di sini masih terdapat celah yang menjadi misteri pada kalangan ahli yang perlu diungkap di masa depan. Sebab, kemampuan teknologi H. erectus sangat terbatas untuk bisa menyeberang ke pulau-pulau kecil di timur Indonesia, termasuk Flores.

Bagaimanapun, Karen Baab dari Department of Anthropology Stony Brook di University Stony Brook menjelaskan di Nature Education, pengerdilan yang dialami H. floresiensis dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Teori ini kerap diadaptasi di seluruh dunia terutama dalam pengerdilan mamalia seperti mamut, gajah, dan primata, dan rusa.

"Dorongan terjadinya pengerdilan pulau sering dikaitkan dengan berkurangnya ketersediaan sumber daya di lingkungan," ungkap Baab. "Apa pun kasusnya, berbadan kecil mungkin lebih menguntungkan di pulau daripada di daratan utama."

Homo floresiensis di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, menjadi tema perdana di National Geographic Indonesia. Penyinkapan arkeologis ini masih menimbulkan tanda tanya tentang peradaban purba manusia di kepulauan Indonesia. (National Geographic Indonesia)

Di sekitar Liang Bua terdapat beberapa hewan yang menemani Mama Flo dan bangsanya. Beberapa hewan tersebut diperkirakan hadir di Liang Bua karena menjadi santapan bagi para manusia katai purba atau didomestikasi.

Stegodon adalah salah satunya. Yang menarik, stegodon di Flores yang merupakan mamalia purba serupa gajah, berbeda dengan di luar Flores. Makhluk tingginya kurang lebih seperti kerbau hari ini, sekitar 120 sentimeter. Ukurannya lebih kecil daripada stegodon yang pernah ditemukan di kepulauan Indonesia bagian barat yang mencapai tiga meter.

Namun, kenyataannya di lapangan mungkin sedikit berbeda dari teori pengerdilan. Makhluk yang mengerdil hanya H. floresiensis dan stegodon. Spesies lainnya yang hidup di sekitar Liang Bua berukuran besar daripada hari ini.