Membayangkan Alam Pulau Flores Purba Saat Homo floresiensis Tersebar

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 6 Oktober 2023 | 07:00 WIB
Liang Bua, gua di Flores, tempat ditemukannya Homo floresiensis yang dijuluki sebagai hobbit. (Felix Dance/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Patung tiruan Homo floresiensis terpajang di kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kepala mungilnya menengok ke kanan atas pada Kawasan Sains R.P. Soejono.

"Model [patung] ini dari Jepang," kata Thomas Sutikna, peneliti BRIN yang pernah terlibat penelitian tentang H. floresiensis. "Bagi sayua pribadi, dan juga mungkin teman-teman [peneliti], yang paling cocok dan mendekati itu dari yang dulu dibuat John Gurche."

Thomas menilai, model yang ada di BRIN saat ini terlalu dibuat menyerupai orang Asia. Sedangkan yang dibuat oleh Gurche, cukup mendekati karena bentuknya yang primitif sedikit menyerupai kera. Model itu pernah digunakan sebagai foto sampul National Geographic Indonesia edisi pertama.

Individu H. floresiensis yang dipajang ini berjenis kelamin perempuan. Ia sering disapa sebagai "Mama Flo". Ukuran patung itu serupa dengan aslinya, sekitar 100 sentimeter atau setara dengan pinggang saya saat berdiri di dekatnya. Karena ukurannya, manusia purba dari periode Pleistosen akhir ini lebih dijuluki sebagai Hobbit, ras manusia katai dalam sastra J.R.R. Tolkien.

Kerangka Mama Flo berasal dari Liang Bua, dan bukan satu-satunya H. floresiensis yang pernah ditemukan. Gua Liang Bua berada di antara perbukitan dan rimbunnya pepohonan daerah Kabupaten Manggarai pedalaman dekat Ruteng.

Komodo dengan latar lanskap Taman Nasional Komodo di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Padang rumput dan komodo adalah kondisi yang umum dijumpai di Liang Bua pada saat Homo floresiensis tersebar di Pulau Flores. (Ringgo Wong/Thinkstock)

Di masa lalu, lingkungan yang dihadapi Mama Flo dan kawanannya sangat berbeda dengan hari ini. Flores, khususnya di sekitar Liang Bua, merupakan padang rumput yang luas dan hanya ada sedikit pohon yang tinggi menjulang.

Dalam penelitian yang pernah diikuti Thomas, bentang alam berupa padang rumput tropis di Pulau Flores sekitar Liang Bua dipengaruhi iklim di masanya. Penelitian itu dipublikasikan di jurnal Quaternary Science Reviews bertajuk "Homo floresiensis and the late Pleistocene environments of eastern Indonesia: defining the nature of the relationship" tahun 2009.

Indonesia pada periode glasial bersuhu lebih rendah, sehingga menyebabkan curah hujan sekitar lebih rendah, meluasnya padang rumput, dan penyusutan hutan hujan. Fenomena ini bahkan terjadi di Paparan Sunda.

Hal ini membuat kawasan sekitar Liang Bua sebagai habitat terbuka yang tidak hanya dihuni oleh H. floresiensis. Beberapa di antaranya seperti tikus, stegodon (gajah purba), bangau, komodo, dan bahkan burung nasar yang kini hanya ditemukan di luar Indonesia.

Pulau Flores yang tidak begitu besar berada di luar Paparan Sunda dan memiliki lingkungan padang rumput. Lingkungan seperti ini diyakini banyak ilmuwan Homo floresiensis yang membuat ukurannya mengerdil.

Ukurannya yang kecil ini sempat diragukan akan jenisnya yang merupakan manusia purba, anak-anak, atau manusia purba yang sakit, sampai akhirnya dikukuhkan sebagai genus manusia purba baru.