Nationalgeographic.co.id - Situs Liang Bua yang ada di Nusa Tenggara Timur populer di kalangan pecinta arkeologi, karena pernah ditemukannya temuan fenomenal awal abad ini: manusia katai (Homo floresiensis). Mereka hidup berburu, belum mengenali cara bercocok tanam yang baru dibawa oleh manusia modern (Homo sapiens).
Sehingga, para arkeolog juga harus memastikan hewan apa saja yang ada di sekitar Situs Liang Bua, lewat temuan kerangka yang ada. Spesies yang ditemukan, beberapa di antaranya sudah punah dan ada yang masih lestari untuk disambangi ketika mengunjungi Situs Liang Bua.
"Salah satu fauna endemic di Liang Bua yang masih hidup dan eksis sampai sekarang adalah tikus," terang Jatmiko, peneliti senior di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam buku Cerita dari Flores; Liang Bua, dari Manusia Purba hingga Manusia Modern. "Jenis hewan mamalia kecil ini mendominasi seluruh temuan fauna yang ada di Liang Bua."
Mamalia pengerat ini sudah menghuni Liang Bua sejak akhir Zaman Pleistosen-Holosen, atau sekitar 190.000 tahun silam hingga sekarang. Hewan ini sudah tinggal di gua ini lebih dulu sebelum kedatangan manusia, sampai-sampai ahli paleonatropologi Matthew Tocheri membuat ankedot, "Liang Bua adalah Gua Tikus, sedangkan Homo floresiensis hanya tamu."
Baca Juga: Peneliti Temukan Titik Terang Penyebab Kepunahan Hobbit
Ada 275.000 spesimen tulang tikus yang ditemui para peneliti di gua itu. Jenis yang masih ada sampai sekarang di Liang Bua adalah Papagomys armandvillei dan P. theodorverhoeveni.
Mereka oleh penduduk setempat disebut sebagai Betu yang memiliki ekor belang hitam-putih. Penduduk sempat juga masih memburunya sebagai santapan dengan perangkap sederhana Nggepit.
Hewan besar yang sudah punah 100.000 tahun silam ini, awalnya diketahui hidup di Jawa sejak 1 juta tahun lalu. Tetapi ditemukan tulang-belulangnya dalam penggalian di Liang Bua yang ukurannya sebesar kerbau, diperkirakan memiliki berat 650 kilogram, dan oleh para peneliti diberi nama lain Stegodon florensis insularis.
"Hasil analisis yang dilakukan dua pakar paleontologi (Dr Gert van den Bergh dan Rokus Due Awe) terhadap sisa-sisa tulang Stegodon Liang Bua menunjukkan bahwa lebih dari 100 individu yang ditemukan situs ini," ungkap Jatmiko dalam buku tersebut.
Baca Juga: Antropolog Menganalisis Cara Mengunyah 'The Hobbits' dari Indonesia
Sebenarnya Stegodon florensis ditemukan pula di tempat lain, seperti Situs Matamenge dan Ola Bula (Cekungan Soa, Flores Tengah) yang berasal dari 840.000 tahun. Sementara di Liang Bua lebih banyak diisi oleh Stegodon berusia anak-anak, bahkan bayi, berdasarkan temuan gigi susu.
"Keberadaan temuan sisa-sisa tulang Stegodon di Liang Bua ternyata menjadi problem yang sangat menarik, terutama bagi kalangan ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang paleontologi, karena seperti kita ketahui bahwa binatang ini bukan (yang terbiasa hidup) di dalam gua tapi di daerah padang savana (open site)," lanjutnya.
Para peneliti curiga bahwa Stegodon di situs ini sebenarnya adalah korban buruan Homo floresiensis, dengan dibawa ke gua dan dikonsumsi dagingnya. Sebab, dalam penggalian, tulang itu berserakan dengan alat-alat serpih batu.
Para ilmuwan merasa bingung dengan kehadiran fosil bangau raksasa (Giant Marabao stork) di Situs Liang Bua. Soalnya, hewan dengan tinggi dua meter ini hanya hidup di Afrika, tetapi mengapa bisa ada di sini?
"Suatu teka-teki yang tidak mudah dipecahkan. Hanya yan gjelas, jenis burung raksasa ini hidupnya sejaman dengan manusia purba Homo floreiensis pada akhir Kala Pleistosen sekitar 190.000-60.000 tahun lalu," tulis Jatmiko.
Baca Juga: Riwayat Temuan Manusia Katai di Flores yang Gegerkan Dunia Arkeologi
Masih sedikit penjelasan tentang bangau raksasa ini, tetapi beberapa ahli menduga kemungkinan burung besar ini dan burung Nasar saling berebut makanan--anak Stegodon yang masih muda. Persaingan mereka juga harus menghadapi hewan predator lainnya seperti komodo dan H. floresiensis.
"Namun asumsi dan pendapat yang masih terlalu dini ini perlu dikaji lebih mendalam lagi melalu bukti-bukti temuan baru," ia berpendapat.
Siapa yang tidak kenal dengan komodo, hewan ini memang sudah menjadi endemik Pulau Flores, Pulau Rinca, Pulau Gili Motang, dan sekitarnya. Kadal ini pernah hidup sezaman dengan Homo floresiensis lewat keberadaan kerangkanya di Liang Bua.
Hewan karnivora itu sering menyasar hewan-hewan lainnya seperti rusa, babi, kerbau, dan kuda. Terkadang, mereka menjadi kanibal dengan memakan yang elebih muda atau anaknya sendiri.
"Air liur Komodo sangat beracun dan mengandung bakteri yang bisa langsung menghambat pembekuan darah, sehingga korban akan cepat lemas karena banyak kehilangan darah," pungkasnya.
Baca Juga: Kabar Terakhir Manusia Katai Dari Flores: Kisah Homo Floresiensis
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR