Nationalgeographic.co.id—Pada 1516-1517, meletus sebuah peperangan yang terjadi antara Kekaisaran Ottoman dengan Kesultanan Mamluk. Hal ini menyebabkan kehancuran total pada Kesultanan Mamluk.
Pada awal abad ke-17, wilayah timur Kekaisaran Ottoman dikejutkan dengan pemberontakan Kyzylbashi. Ottoman berhasil memukul mundur pemberontak dan banyak orang Kyzylbashi yang melarikan diri ke tempat saudara seagama mereka di Safawi, Persia.
Pada tahun 1512, Sultan Bayazid II digulingkan dari tahta, dan Selim I menjadi Sultan baru Kekaisaran Ottoman. Putra sulung Bayazid, Ahmed, yang saat itu berada di Konya, bereaksi terhadap penggulingan Selim atas ayahnya dari tahta. Ahmed memproklamirkan dirinya sebagai sultan yang sah.
“Selama perebutan kekuasaan, Ahmed meminta bantuan dari banyak penguasa Muslim, termasuk Shah Persia, Ismail,” tulis Hayden Chakra, pada laman About History.
Sultan Selim pun siap menantang Shah Persia untuk menyingkirkan orang-orang yang menyainginya dalam perebutan kekuasaan di dalam keluarganya.
Sebelum perang, Sultan Selim melakukan misi diplomatik yang besar, mencoba melindungi dirinya dari kejutan yang tidak menyenangkan. Secara khusus, ia mengusulkan aliansi melawan Mamluk Sultan Al-Ashraf Qansuh.
Pada tahun 1514, Selim berperang melawan Ismail dan mengalahkannya dalam pertempuran Chaldiran.
“Setelah kekalahan di Chaldiran, Ismail percaya bahwa Selim akan kembali pada musim semi untuk melanjutkan operasinya, dan mulai mencari sekutu, khususnya kepada sultan Mamluk, tetapi ia menolak untuk membuat perjanjian,” kata Hayden.
Setelah pertempuran Chaldyran dan aneksasi Zulkadar, yang membuat Mamluk rentan terhadap serangan langsung, sikap Kekaisaran Ottoman terhadap Mamluk berubah. Sultan menghina bangsa Mamluk.
Pada tahun 1516, tentara Selim kembali bergerak ke timur dari Istanbul. Semua orang percaya bahwa pasukan itu sekali lagi ditujukan untuk melawan Ismail, tapi ternyata tidak. Tentara itu ditujukan untuk melawan Mamluk.
Untuk perang melawan kaum Muslim, Sultan membutuhkan persetujuan dari para pemimpin agama. Kekaisaran Ottoman harus memberikan latar belakang yang kuat untuk memerangi Mamluk.
“ … Mamluk, yang merupakan kaum Sunni dan penjaga tempat-tempat suci di Mekah dan Madinah, hampir tidak dapat disebut sebagai bidaah, bahkan untuk kepentingan politik Ottoman,” terang Hayden.
Mendapat persetujuan melawan Ismail dan Safawi (yang dianggap sesat oleh pandangan Sunni-Ottoman) akan lebih mudah, dibanding melawan Mamluk yang juga adalah Sunni.
Namun akhirnya, kalangan agamawan Kekaisaran Ottoman sepakat untuk mendukung kampanye melawan Mamluk. Persetujuan tersebut didasari bahwa "siapapun yang membantu bidaah adalah bidaah itu sendiri," dan pertempuran melawan mereka dapat dianggap sebagai perang suci. Ini sudah cukup bagi Selim.
Jalannya Perang
Berbekal kesimpulan agama yang mendukungnya, Selim datang dari Malatya ke selatan, ke Suriah bersama rombongan pasukannya.
Tentara Ottoman dan Mamluk bertemu pada 24 Agustus 1516, di sebelah utara Aleppo, di padang Dabik. Dalam beberapa jam saja, pertempuran berakhir.
Pasukan Mamluk baru saja mulai menggunakan mesiu dan hanya memiliki sedikit senjata api, sementara pasukan Ottoman dipersenjatai dengan banyak senapan. Ketika al-Ashraf Qansuh melarikan diri dari medan perang, kepanikan mulai terjadi pada tentara Mamluk.
Tak disangka, ternyata komandan Mamluk, Khair Bak, adalah seorang agen Sultan Utsmaniyah: selama pertempuran, ia menyeberang ke Selim (yang kemudian menjadi penguasa Aleppo).
“Sultan Mamluk tidak selamat, namun keadaan kematiannya tidaklah jelas hingga hari ini,” terang Hayden.
Penduduk Aleppo tidak memiliki kecintaan terhadap Mamluk, dan mereka senang mendengar pasukan Kekaisaran Ottoman datang ke kota mereka. Ketika ia bergerak ke Damaskus, pasukan Selim tidak menemui perlawanan, dan Damaskus juga menyerah tanpa perlawanan.
Pada hari Jumat pertama bulan suci Ramadan, sebuah doa diadakan atas nama Sultan Selim di masjid kota terbesar Kekaisaran Ottoman. Dengan demikian, penguasa Utsmaniyah yang baru di Suriah mengumumkan kepada dunia tentang kemenangannya.
Belum usai, i hadapan Selim dan para penasehatnya, muncul pertanyaan, "Haruskah kita pergi ke Kairo?."
Penaklukan yang dilakukan di Suriah tidak akan aman jika Mesir tetap berada di tangan Mamluk. Selim menerima saran dari mereka yang merekomendasikan untuk melanjutkan operasi militernya.
Di Kairo, para bangsawan mulai berselisih pendapat mengenai apakah mereka akan mendengarkan seruan Selim untuk menyerah.
Sultan baru Mamluk, Tuman-bey, mendukung tercapainya kesepakatan dengan Selim. Namun, di sisi lain banyak pihak yang menginginkan berperang. Hasilnya, mereka bertempur melawan Ottoman.
Dalam pertempuran di selatan Gaza, pasukan Mamluk, di bawah komando gubernur Mamluk yang mengungsi di Damaskus, Dzhanbardi al-Ghazali terdesak. Hal ini dikarenakan Ottoman menerapkan taktik barunya.
Pada awal tahun 1517, Selim meninggalkan Damaskus bersama pasukannya. Seminggu setelah meninggalkan Damaskus, tentara Utsmaniyah pada 22 Januari 1517, mengalahkan Mamluk dalam Pertempuran Raidaniye.
Dua hari kemudian, Selim memasuki Kairo. Namun setelah itu, pertempuran sengit dimulai di kota itu, yang berpuncak pada kemenangan Ottoman.
Dalam perang tersebut, Hayden menjelaskan, kedua belah pihak sama-sama menderita kerugian yang sangat besar.
“Tuman-bey ditangkap dan dibawa ke Selim. Ia dieksekusi, dan tubuhnya digantung di gerbang kota untuk disaksikan oleh publik. Kekaisaran Mamluk dihancurkan, Mesir menjadi provinsi Kekaisaran Ottoman,” pungkasnya.