“Persia dan Tiongkok telah berkolaborasi untuk memadamkan kekuatan Turki yang sedang bangkit, dengan mempermainkan para pemimpin suku yang berbeda satu sama lain,” kata Kallie.
Konflik Awal Tiongkok dan Arab
Tak pelak lagi, ekspansi kilat yang dilakukan oleh bangsa Arab akan berbenturan dengan kepentingan Tiongkok yang sudah mapan di Asia Tengah.
Pada 651, Ummaiyyah merebut ibu kota Sassania di Merv dan mengeksekusi rajanya, Yazdegerd III. Dari pangkalan ini, mereka kemudian menaklukkan Bukhara, Lembah Ferghana, dan sampai ke timur sampai ke Kashgar (di perbatasan Cina/Kirgistan saat ini).
Berita tentang nasib Yazdegard dibawa ke ibu kota Cina, Chang'an (Xian), oleh putranya, Firuz, yang melarikan diri ke Cina setelah kejatuhan Merv.
Pada 715, bentrokan bersenjata pertama antara kedua kekuatan ini terjadi di Lembah Ferghana, Afghanistan.
Bangsa Arab dan Tibet menggulingkan Raja Ikhshid dan melantik seorang pria bernama Alutar sebagai penggantinya. Ikhshid meminta Tiongkok untuk campur tangan atas namanya, dan Tang mengirim 10.000 tentara untuk menggulingkan Alutar dan mengembalikan Ikhshid.
Dua tahun kemudian, tentara Arab/Tibet mengepung dua kota di wilayah Aksu, yang sekarang dikenal sebagai Xinjiang, Tiongkok barat. Namun, pasukan Arab harus mundur setelah Tiongkok mengrimim tentara bayaran Karluk.
“Pada tahun 750, Kekhalifahan Umayyah runtuh, digulingkan oleh Dinasti Abbasiyah yang lebih agresif,” kata Kallie.
Dari ibu kota pertama mereka di Harran, Turki, Kekhalifahan Abbasiyah mulai mengkonsolidasikan kekuasaan warisan Umayyah yang luas. Salah satu wilayah yang menjadi perhatian adalah daerah perbatasan timur–Lembah Ferghana dan sekitarnya.
Kallie menjelaskan, bentrokan yang menentukan di Sungai Talas dipicu oleh perselisihan lain di Ferghana. Pada 750, raja Ferghana berselisih dengan penguasa negara tetangga, Chach.