Perang Enam Hari, Seteru Singkat Arab-Israel pada Sejarah Timur Tengah

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 11 Oktober 2023 | 07:00 WIB
Barisan tank Brigade ke-14 Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dalam Perang Enam Hari pada 5 Juni 1967. Perang singkat ini membawa kemenangan signifikan untuk Israel atas ketidaksiapan negara-negara Arab dalam konflik. (Alex Egor/IDF)

Nationalgeographic.co.id—Akhir dari Krisis Suez merupakan bagian dari Perang Arab-Israel Kedua. Akhir dari konflik ini membuka peluang kehebatan Mesir di mata Eropa dan Amerika Serikat. Israel yang sebelumnya menguasai Sinai, terpaksa angkat kaki pada 1957 atas desakan kepentingan AS dan Eropa.

Mesir yang saat itu dikepalai oleh Presiden Gamal Abdel Nasser, menunjukkan kepandaian politiknya. Hal ini pun memotivasi negara Arab lainnya untuk memulai perang baru dengan Israel yang telah berlangsung sejak akhir Perang Dunia II. Konfrontasi tersebut adalah Perang Enam Hari, yang berlangsung singkat, tapi sangat berdarah.

Perang Enam Hari berlangsung pada 5—10 Juni 1967. Geopolitik di Timur Tengahsemakin memanas, terutama setelah gagalnya invasi negara-negara Arab ke Israel yang baru berdiri.

Pada dekade 1960-an, para pemimpin Arab merasa sedih atas kekalahan militer yang terjadi sebelumnya, membuat masyarakat Palestina harus mengungsi. Sementara itu warga Israel percaya bahwa Mesir dan negara-negara Arab lainnya akan menjadi ancaman, terutama setelah Krisis Suez.

Menjelang perang pecah, terdapat konflik di sekitar perbatasan Israel. Gerilyawan Palestina pun melancarkan serangan di perbatasan, yang memicu balasan dari Pasukan Pertahanan Israel. Gerilyawan Palestina ini juga didukung Suriah.

Kondisi negara-negara Arab dan Israel semakin memburuk pada April 1967. Saat itu, Israel dan Suriah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Hal ini membuat Mesir bergerak, atas informasi dari intelijen Uni Soviet bahwa Israel sedang bergerak dengan kekuatan penuh ke utara.

Banyak yang beranggapan informasi yang diberikan Uni Soviet salah atau tidak akurat. Uni Soviet punya kepentingan di Timur Tengah, terutama negara-negara Arab.

Bagaimanapun, informasi ini membuat Gamal Abdel Nasser segera menginstruksikan militernya bergerak menuju Israel. Mesir berniat untuk mendukung sekutunya, Suriah dengan bergerak maju ke Semenanjung Sinai. Pada momen inilah, Mesir mengusir pasukan penjaga perdamaian PBB yang telah bertugas lebih dari satu dekade.

Mesir mengambil tindakan pelarangan pengiriman barang di Selat Tiran (jalur laut yang menghubungkan Laut Merah dan Teluk Aqaba) dari Israel pada 22 Mei. Tidak lama, Nasser menandatangani perjanjian pertahanan dengan Raja Hussein dari Yordania.

Pasukan Yordania memasuki kawasan Israel menjelang konfrontasi bersenjata dalam Perang Enam Hari. (AP)

Situasi ini membuat suasana Timur Tengah menegang. Presiden AS Lyndon B. Johnson pun menyerukan agar jangan sampai terjadi pecah perang, baik yang dimulai dari Israel maupun negara-negara Arab. Johnson pun berusaha menyerukan dukungan agar Selat Tiran dibuka kembali, meningat jalur ini sangat penting dalam perdagangan internasional.

Seruan ini membuat Perdana Menteri Israel Levi Eshkol menghadapi tekanan militer. Israel dikenal sebagai negara yang sangat unggul dalam militer. Namun, ia tertahan akan seruan Johnson, sehingga dianggap ragu-ragu di mata dunia, walau banyak masyarakat dunia yang mendukungnya.