Nationalgeographic.co.id—Akhir dari Krisis Suez merupakan bagian dari Perang Arab-Israel Kedua. Akhir dari konflik ini membuka peluang kehebatan Mesir di mata Eropa dan Amerika Serikat. Israel yang sebelumnya menguasai Sinai, terpaksa angkat kaki pada 1957 atas desakan kepentingan AS dan Eropa.
Mesir yang saat itu dikepalai oleh Presiden Gamal Abdel Nasser, menunjukkan kepandaian politiknya. Hal ini pun memotivasi negara Arab lainnya untuk memulai perang baru dengan Israel yang telah berlangsung sejak akhir Perang Dunia II. Konfrontasi tersebut adalah Perang Enam Hari, yang berlangsung singkat, tapi sangat berdarah.
Perang Enam Hari berlangsung pada 5—10 Juni 1967. Geopolitik di Timur Tengahsemakin memanas, terutama setelah gagalnya invasi negara-negara Arab ke Israel yang baru berdiri.
Pada dekade 1960-an, para pemimpin Arab merasa sedih atas kekalahan militer yang terjadi sebelumnya, membuat masyarakat Palestina harus mengungsi. Sementara itu warga Israel percaya bahwa Mesir dan negara-negara Arab lainnya akan menjadi ancaman, terutama setelah Krisis Suez.
Menjelang perang pecah, terdapat konflik di sekitar perbatasan Israel. Gerilyawan Palestina pun melancarkan serangan di perbatasan, yang memicu balasan dari Pasukan Pertahanan Israel. Gerilyawan Palestina ini juga didukung Suriah.
Kondisi negara-negara Arab dan Israel semakin memburuk pada April 1967. Saat itu, Israel dan Suriah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Hal ini membuat Mesir bergerak, atas informasi dari intelijen Uni Soviet bahwa Israel sedang bergerak dengan kekuatan penuh ke utara.
Banyak yang beranggapan informasi yang diberikan Uni Soviet salah atau tidak akurat. Uni Soviet punya kepentingan di Timur Tengah, terutama negara-negara Arab.
Bagaimanapun, informasi ini membuat Gamal Abdel Nasser segera menginstruksikan militernya bergerak menuju Israel. Mesir berniat untuk mendukung sekutunya, Suriah dengan bergerak maju ke Semenanjung Sinai. Pada momen inilah, Mesir mengusir pasukan penjaga perdamaian PBB yang telah bertugas lebih dari satu dekade.
Mesir mengambil tindakan pelarangan pengiriman barang di Selat Tiran (jalur laut yang menghubungkan Laut Merah dan Teluk Aqaba) dari Israel pada 22 Mei. Tidak lama, Nasser menandatangani perjanjian pertahanan dengan Raja Hussein dari Yordania.
Situasi ini membuat suasana Timur Tengah menegang. Presiden AS Lyndon B. Johnson pun menyerukan agar jangan sampai terjadi pecah perang, baik yang dimulai dari Israel maupun negara-negara Arab. Johnson pun berusaha menyerukan dukungan agar Selat Tiran dibuka kembali, meningat jalur ini sangat penting dalam perdagangan internasional.
Seruan ini membuat Perdana Menteri Israel Levi Eshkol menghadapi tekanan militer. Israel dikenal sebagai negara yang sangat unggul dalam militer. Namun, ia tertahan akan seruan Johnson, sehingga dianggap ragu-ragu di mata dunia, walau banyak masyarakat dunia yang mendukungnya.
Eshkol pun semakin memanas untuk melancarkan aktivitas militer, terutama setelah Nasser memprovokasi. Perdana Menteri itu pun membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional bersama dengan Manachem Begin dari Partai Herut (partai nasionalis-konservatif Israel), dan menyerahkan rancangan kepada Menteri Pertahanan Moshe Dayan.
Singkatnya, rencana perdamaian Johnson tidak pernah terwujud dan Perang Enam Hari dimulai. Para pemimpin Israel pada 4 Juni 1967 sepakat untuk melawan secara militer negara-negara Arab yang mulai berkumpul di dekat perbatasan. Israel pun melancarkan serangan pembuka.
Serangan pembuka itu pada 5 Juni pagi. Ada sekitar 200 pesawat Israel menukik ke barat dan menyerang Mesir dari utara. Serangan ini mengejutkan pasukan Mesir, membuat 90 persen angkatan udara yang ada di darat lenyap.
Mesir punya kendala dengan pertahanan mereka sendiri karena mematikan seluruh sistem pertahanan udaranya. Mereka khawatir, kalangan pemberontak Mesir akan menjatuhkan para pemimpin militer. Hal ini membuat pilot Israel dalam serangan pembuka tidak terdeteksi oleh angkatan udara Mesir.
Israel pun melanjutkan serangannya ke angkatan udara Yordania, Suriah, dan Irak. Posisi ini membuat Israel menguasai kawasan udara Timur Tengah dalam waktu satu hari.
Pada waktu yang bersamaan dengan serangan udara, konflik di darat terjadi antara Israel dan Mesir. Tentara Israel segera masuk ke Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai. Mesir segera memberikan perlawanan penuh, tetapi menjadi berantakan ketika Marsekal Abdel Hakim Amer yang panik memerintahkan untuk mundur.
Ketika tentara Mesir mundur, tentara Israel mengejar. Sekitar 100 orang ditangkap dan menjadi tawanan perang Israel pada 6 Juni.
Militer Yordania ikut dalam perang. Yordania bereaksi terhadap laporan palsu tentang kemenangan Mesir, dan bergerilya di Yerusalem, Tepi Barat. Pergerakan militer ini sudah dilakukan sejak 1 Juni. Pada pertengahan Perang Enam Hari, Yordania menekan posisi Israel di kota suci tiga agama Abrahamik itu.
Militer Israel menyerang balik di Yerusalem dan Tepi Timur. Pada 7 Juni, mereka berhasil merebut Kota Tua Yerusalem dan merayakannya berdoa di Tembok Barat.
Sementara, di perbatasan timur laut Israel dan Suriah masih berlangsung fase terakhir pertempuran pada 9 Juni. Pengeboman kawasan oleh armada AU, tank, dan infanteri dilakukan untuk mendesak maju ke wilayah Dataran Tinggi Golan. Keesokan harinya, Golan berhasil direbut Israel.
Perang Enam Hari pun disorot oleh dunia karena telah memakan korban puluhan ribu jiwa. PBB pun menengahi upaya perdamaian dengan gencatan senjata pada 10 Juni 1967.
Hasil perang ini membuat suasana masyarakat Israel bergembira karena berhasil merebut kembali Semenajung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir. Israel juga berhasil menguasai Tepi Barat dan Yerusalem dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.
Kekalahan negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari membuat Nasser ingin mengundurkan diri dari jabatan presiden. Namun, rakyat Mesir menolaknya dengan berdemonstrasi untuk mendukungnya kembali memimpin.
Akan tetapi, gencatan senjata dan upaya perdamaian PBB bukan berarti menjadi akhir dari konflik Israel dan negara-negara Arab. Kemenangan Israel memicu lonjakan kebanggaan masyarakat yang dapat memperparah konflik pada masa selanjutnya.
Kelak, konflik antara kedua belah pihak kembali terjadi pada 1973 yang tidak kalah besar. Konflik tersebut adalah Perang Yom Kippur atau disebut Perang Ramadan 1973.