Perang Enam Hari, Seteru Singkat Arab-Israel pada Sejarah Timur Tengah

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 11 Oktober 2023 | 07:00 WIB
Barisan tank Brigade ke-14 Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dalam Perang Enam Hari pada 5 Juni 1967. Perang singkat ini membawa kemenangan signifikan untuk Israel atas ketidaksiapan negara-negara Arab dalam konflik. (Alex Egor/IDF)

Eshkol pun semakin memanas untuk melancarkan aktivitas militer, terutama setelah Nasser memprovokasi. Perdana Menteri itu pun membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional bersama dengan Manachem Begin dari Partai Herut (partai nasionalis-konservatif Israel), dan menyerahkan rancangan kepada Menteri Pertahanan Moshe Dayan.

Singkatnya, rencana perdamaian Johnson tidak pernah terwujud dan Perang Enam Hari dimulai. Para pemimpin Israel pada 4 Juni 1967 sepakat untuk melawan secara militer negara-negara Arab yang mulai berkumpul di dekat perbatasan. Israel pun melancarkan serangan pembuka.

Serangan pembuka itu pada 5 Juni pagi. Ada sekitar 200 pesawat Israel menukik ke barat dan menyerang Mesir dari utara. Serangan ini mengejutkan pasukan Mesir, membuat 90 persen angkatan udara yang ada di darat lenyap.

Mesir punya kendala dengan pertahanan mereka sendiri karena mematikan seluruh sistem pertahanan udaranya. Mereka khawatir, kalangan pemberontak Mesir akan menjatuhkan para pemimpin militer. Hal ini membuat pilot Israel dalam serangan pembuka tidak terdeteksi oleh angkatan udara Mesir.

Israel pun melanjutkan serangannya ke angkatan udara Yordania, Suriah, dan Irak. Posisi ini membuat Israel menguasai kawasan udara Timur Tengah dalam waktu satu hari.

Pada waktu yang bersamaan dengan serangan udara, konflik di darat terjadi antara Israel dan Mesir. Tentara Israel segera masuk ke Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai. Mesir segera memberikan perlawanan penuh, tetapi menjadi berantakan ketika Marsekal Abdel Hakim Amer yang panik memerintahkan untuk mundur.

Ketika tentara Mesir mundur, tentara Israel mengejar. Sekitar 100 orang ditangkap dan menjadi tawanan perang Israel pada 6 Juni.

Militer Yordania ikut dalam perang. Yordania bereaksi terhadap laporan palsu tentang kemenangan Mesir, dan bergerilya di Yerusalem, Tepi Barat. Pergerakan militer ini sudah dilakukan sejak 1 Juni. Pada pertengahan Perang Enam Hari, Yordania menekan posisi Israel di kota suci tiga agama Abrahamik itu.

Pergerakan fase terakhir dari Perang Enam Hari. Israel mencoba merebut Yerusalem dari Yordania. (Department of History, U.S. Military Academy)

Militer Israel menyerang balik di Yerusalem dan Tepi Timur. Pada 7 Juni, mereka berhasil merebut Kota Tua Yerusalem dan merayakannya berdoa di Tembok Barat.

Sementara, di perbatasan timur laut Israel dan Suriah masih berlangsung fase terakhir pertempuran pada 9 Juni. Pengeboman kawasan oleh armada AU, tank, dan infanteri dilakukan untuk mendesak maju ke wilayah Dataran Tinggi Golan. Keesokan harinya, Golan berhasil direbut Israel.

Perang Enam Hari pun disorot oleh dunia karena telah memakan korban puluhan ribu jiwa. PBB pun menengahi upaya perdamaian dengan gencatan senjata pada 10 Juni 1967.

Hasil perang ini membuat suasana masyarakat Israel bergembira karena berhasil merebut kembali Semenajung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir. Israel juga berhasil menguasai Tepi Barat dan Yerusalem dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Kekalahan negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari membuat Nasser ingin mengundurkan diri dari jabatan presiden. Namun, rakyat Mesir menolaknya dengan berdemonstrasi untuk mendukungnya kembali memimpin.

Akan tetapi, gencatan senjata dan upaya perdamaian PBB bukan berarti menjadi akhir dari konflik Israel dan negara-negara Arab. Kemenangan Israel memicu lonjakan kebanggaan masyarakat yang dapat memperparah konflik pada masa selanjutnya.

Kelak, konflik antara kedua belah pihak kembali terjadi pada 1973 yang tidak kalah besar. Konflik tersebut adalah Perang Yom Kippur atau disebut Perang Ramadan 1973.