Meski Terpuruk, Bagaimana Kekaisaran Bizantium Menghadapi Invasi Arab?

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 21 Oktober 2023 | 09:00 WIB
Bizantium selamat dari invasi Arab dengan mengembangkan sistem pertahanan baru. ( Angus McBride/sprey Publishing)

Nationalgeographic.co.id—Abad ketujuh merupakan titik penting dalam sejarah tentara Bizantium. Sejak awal abad ini, wilayah di Balkan terus menerus hilang ke tangan bangsa Avar dan Slavia. Pasukan Bizantium berhasil mencegah krisis invasi Persia di Timur.

Hal tersebut juga diikuti dengan kemenangannya atas Kekaisaran Sassaniyah persia pada tahun 628 masehi. Namun itu  hanya jeda singkat sebelum bahaya baru, yaitu Islam, muncul dari Jazirah Arab.

Dilemahkan oleh perang yang mahal dengan Persia, tentara Bizantium dikalahkan oleh pasukan Islam. Sebagian besar wilayah kekaisaran jatuh ke tangan para penakluk Muslim. Dalam rangka bertahan, Bizantium menyusun strategi baru untuk memerangi muslim. 

Strategi ini adalah “pembentukan unit-unit pertahanan lokal yang berbasis di provinsi-provinsi administratif dan militer yang baru diorganisir,” kata Michael Goodyear, asisten profesor NYU School of Law dan pengamat sejarah Bizantium.

Tentara Bizantium telah kehilangan sejumlah besar wilayah yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada musuh-musuh asing. Tetapi, Michael menerangkan, “melalui penciptaan kekuatan tempur pertahanan yang efektif pada pertengahan dan akhir abad ketujuh, mereka berhasil mempertahankan Kekaisaran Bizantium.” 

Pemulihan yang Gagal, Serangan Arab

Heraklius telah menggunakan strategi militer yang digariskan oleh Kaisar Maurice; namun, sistem pertahanan Bizantium yang baru diperlukan. (Eloquence/Public Domain)

Tentara Bizantium di bawah pimpinan Heraklius (610-641 M) telah menggunakan strategi militer yang diuraikan dalam Strategikon Kaisar Maurice (582-602 M). Strategikon merupakan risalah militer yang penting pada masa itu. 

Pasukan Armenia dan Khazar yang bersekutu berhasil mengalahkan ancaman berbahaya dari invasi Sassaniyyah pada tahun 628 M. Dengan demikian lahir sebuah era baru bagi Bizantium.

Meskipun demikian, ada banyak masalah yang dihasilkan dari Perang Bizantium-Persia. Situasi di Balkan dan Italia memburuk karena kurang perhatian selama perang terjadi.

Akibat perang, Bizantium mengalami kerugian secara ekonomi dan militer. Harta rampasan yang direbut di Persia hanya cukup untuk membiayai rekonstruksi di Timur Tengah Bizantium. 

Karena situasi ini, perubahan harus dilakukan Kekaisaran Bizantium untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut.

“Setelah musuh utama Bizantium, Kekaisaran Sassaniyah dikalahkan, perampingan tentara dipandang sebagai keputusan taktis yang akan menghemat biaya dan memastikan keamanan internal,” kata Michael.

Namun, ancaman tak terduga segera muncul dari padang pasir Arab, tepatnya pada pertengahan tahun 630-an. Bangsa Arab, yang baru saja bersatu di bawah agama Islam, tentu menjadi ancaman serius bagi Bizantium.

Pasukan Arab menyerbu Yordania dan Suriah. Upaya tersebut direspon Bizantium dengan mengirim pasukannya. Tanpa diduga, Pertempuran Yarmouk yang menentukan pada tahun 636 M menghasilkan penghancuran pasukan Bizantium yang besar. 

Pasukan ini terdiri dari banyak pasukan terbaik Bizantium. Kekaisaran Bizantium yang masih dalam masa pemulihan ekonomi dan militer, tidak memiliki kemampuan untuk dengan mudah merekrut pasukan pengganti. 

Kekalahan besar ini mengakibatkan pendudukan Arab atas sebagian besar wilayah Suriah dan Palestina.

Michael menjelaskan, hilangnya provinsi-provinsi kaya di Suriah dan Palestina “mengharuskan Bizantium untuk memikirkan kembali doktrin militernya untuk menciptakan alternatif yang layak dengan sumber daya yang lebih sedikit.”

“Tema”, Sistem Pertahanan Baru Bizantium

Di seberang jurang terbentang medan perang Yarmouk, pemulihan Bizantium setelah Pertempuran Yarmouk berasal dari penggunaan sistem organisasi militer yang baru. (Friedlibend und tapfer / CC BY-SA 3.0 )

Pasca Pertempuran Yarmouk, Kekaisaran Bizantium pulih secara bertahap. Mereka melakukan pengembangan bertahap sistem organisasi provinsi dan militer baru.

Awal dari struktur yang kemudian dijuluki 'sistem tema', terjadi selama abad ketujuh–Bizantium tidak menggunakan istilah theme itu sendiri sampai sekitar tahun 805 Masehi. 

Sistem ini melibatkan reorganisasi militer dan politik dari provinsi-provinsi Romawi kuno menjadi distrik-distrik baru yang ditarik berdasarkan garis-garis militer. Secara umum diyakini bahwa pasukan lapangan lama dari Bizantium awal diadaptasi menjadi pasukan statis yang menetap di distrik-distrik tertentu.

Tentara tematik, bukanlah tentara yang berdiri sendiri, melainkan terdiri dari orang-orang yang direkrut secara lokal. Penduduk setempat dilatih sebagai tentara, diharuskan melengkapi diri mereka sendiri untuk berperang.

Seorang Kaisar dapat menggunakan pasukan tematik dalam sebuah operasi militer. Kaisar maupun orang yang ditunjuk, menjemput tentara dari setiap distrik untuk melakukan operasi di Timur.

Dalam sistem baru ini, para prajurit dibebaskan dari pajak dan pajak tambahan sebagai imbalan atas pelayanan militer yang mereka berikan. Mereka juga mendapatkan tanah di distrik-distrik yang menjadi wilayah tugas mereka.

Michael menjelaskan, dengan diberi tanah, diharapkan mereka memiliki penghasilan untuk membeli kuda dan senjata. Hal ini akan menghemat perbendaharaan Kekaisaran Bizantium 

Sistem Pertahanan Bizantium Terbaik adalah Pertahanan Geografis

Sistem pertahanan Bizantium yang baru pada pertengahan dan akhir abad ketujuh berpusat di Anatolia di Timur. Kekaisaran Bizantium menghadapi tantangan logistik yang besar karena topografi Anatolia yang dapat menghambat efektivitas militer mereka. 

Medan yang sulit dan jarak yang jauh di Anatolia membuat pasukan membutuhkan waktu lama untuk tiba di tempat yang dituju. Mereka hanya bergerak sekitar 12 hingga 16 kilometer setiap harinya.

Di sisi lain, Musuh-musuh Bizantium secara alami menghadapi masalah logistik yang sama di Anatolia. Tak hanya itu, mereka juga menghadapi bahaya tambahan karena berada di wilayah musuh.

Pasukan musuh yang tak akrab dengan medan, akan menyulitkan pergerakan mereka. Hal inilah yang menguntungkan bagi Kekaisaran Bizantium.

Michael menjelaskan, tentara Bizantium memanfaatkan dataran tinggi untuk mempertahankan wilayah mereka. 

“Para pengintai ditempatkan di dan dekat perbatasan untuk mengawasi pergerakan musuh dan memberi tahu penduduk sipil dan militer tentang potensi serangan ke wilayah Bizantium,” jelasnya. 

Namun, strategi ini memiliki kelemahan, yaitu penduduk pedesaan menderita akibat serangan Arab, sehingga mengganggu produktivitas dan keamanan penduduk Bizantium di daerah tersebut.

Pertahanan Baru untuk Bizantium

Karena Bizantium kini berada dalam posisi defensif, mereka mengembangkan organisasi militer yang berbeda dari yang digunakan dalam Strategikon karya Maurice.

"Sebuah sistem peringatan dan pertahanan dibangun untuk melawan para penyerbu sehingga penduduk diberitahu dan memiliki waktu untuk menyembunyikan diri dan harta benda bergerak mereka dari penjajah Arab," kata Micahel.

Kekaisaran Bizantium memiliki banyak senjata rahasia. Salah satunya adalah api Yunani yang menjadi senjata andalan menghalau musuh di laut. (Codex Skylitzes Matritensis)

Contoh paling terkenal dari hal ini adalah serangkaian sinyal api yang membentang dari Pegunungan Taurus hingga Konstantinopel yang konon dibangun pada abad kesembilan.

Di Anatolia, kedua belah pihak melakukan peperangan dengan anggaran rendah, bukan perang besar. Namun ada beberapa pengecualian kasus. Salah satu contohnya adalah pengepungan Konstantinopel dari tahun 674 hingga 678 Masehi.

Meskipun jumlah tentara Arab lebih unggul, pasukan Bizantium menggunakan senjata baru: Api Yunani. Senjata kuat tersebut dikolaborasikan dengan peperangan defensif yang akan menguntungkan bagi Kekasiaran Bizantium.

"Pengenalan taktik baru ini membantu Bizantium bertahan dari serangan raksasa Arab," jelas Michael.